Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan cagar biosfer menjadi faktor terpenting agar sebuah kawasan tetap terjaga. Konsep ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar dan berdampak pada pembangunan yang berkelanjutan.
Hal ini mengemuka dalam Sidang International Co-ordinating Council of the Man and the Biosphere (ICC-MAB) UNESCO ke 30 di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (24/7/2018) Hadir dalam rapat tersebut, 300 peserta dari 45 negara yang merupakan anggota dari World Network of Biosphere Reserve (WNBR) dari Asia, Australia, Afrika, dan Amerika.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan pengusulan sebuah kawasan menjadi cagar biosfer dilakukan agar kelestarian kawasan tersebut terjadi. Selain itu juga memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat lokalnya. Dengan penetapan itu semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, warga lokal, komunitas, dan pemangku kepentingan diharapkan dapat berkolaborasi membuat program yang bisa bermanfaat bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat ini ada 11 cagar biosfer di Indonesia dengan luas kawasan mencapai 17 juta hektar. Adapun luas zona inti mencapai 3 juta hektar. Dari sejumlah cagar biosfer yang sudah dikelola, lanjut Wiratno, beberapa diantaranya memberikan nilai tambah bagi masyarakat.
PRESENTASI YOHANES PURWANTO–Presentasi keberadaan cagar biosfer di Indonesia oleh Yohanes Purwanto, Direktur Eksekutif MAB
Sebagai contoh, lanjut Wiratno, pengelolaah kawasan wisata alam di Tangkahan di Langkat, Sumatera Utara telah menghasilkan perputaran uang di dua desa hingga Rp 10 miliar per tahun. Selain itu pengelolaan Desa Wisata Kalibiru, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta menghasilkan perputaran uang hingga Rp 6 miliar per tahun, hanya dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat berfoto. Menurut Wiratno, cara ini akan berdampak pada meningkatknya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitarnya.
Dalam pertemuan ini, lanjut Wiratno, Indonesia juga mengusulkan tiga kawasan menjadi cagar biosfer baru yakni Berbak Sembilang, Sumatera Selatan- Jambi, Betung Kerihun Danau Sentarum, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Rinjani- Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penetapan ini didasarkan potensi yang dimiliki oleh ketiga tempat tersebut.
Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bambang Subiyanto menuturkan LIPI memiliki tugas untuk meneliti teknologi yang dapat diterapkan oleh masyarakat lokal dalam kawasan cagar biosfer. “Teknologi yang diberikan harus berkaitan dengan aspek manusianya,”ucap Bambang.
Karena itu, penelitian akan melihat aspek kearifan lokal, kebiasaan, dan keinginan masyarakat. Selain itu, potensi alam juga harus diperhatikan karena kekayaan alam yang ada didalamnya dapat digunakan untuk bahan baku ekonomi yang memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Namun demikian, rantai pasok bahan baku perlu diperhatikan agar jangan sampai kegiatan ekonomi justru merusak lingkungan sekitarnya.
Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin mengatakan belajar dari kebakaran lahan tahun 2015, Pemerintah Sumsel mulai mengedepankan konsep pembangunan hijau dalam menjalankan perekonomiannya. Langkah ini bertujuan agar pengembangan ekonomi tetap mengedepankan pembangunan berkelanjutan. Sampai saat ini, Sumsel memiliki 11 bantuan program pengelolaan lanskap lingkunagan di sejumlah kawasan bekas kebakaran lahan dari 15 negara.
Ketua Komite Nasional MAB UNESCO Enny Sudarmonowati mengatakan saat ini ada 669 cagar biosfer di dunia yang tersebar di 120 negara. Pertemuan ini diharapkan dapat menemukan cara yang paling efektif dan efisien untuk mengembangkan cagar biosfer yang sudah ada. Momen ini juga menjadi ajang promosi terkait keunggulan Indonesia dalam pengembangan cagar biosfer yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan.-RHAMA PURNA JATI
Sumber: Kompas, 25 Juli 2018