Proses pembuatan Kebijakan Satu Peta terhambat oleh ketidaksesuaian data antarpeta tematik. Itu membuat sinkronisasi peta tematik atau peta yang menyajikan tema tertentu untuk kepentingan tertentu, seperti status tanah dan transportasi, dengan memakai peta rupa bumi, sulit dilakukan.
Karena itu Presiden Joko Widodo sebagai penggagas kebijakan itu perlu mendorong instansi pemerintah terkait segera menuntaskan tumpang tindih perizinan dan pemanfaatan ruang.
Dalam pembuatan Kebijakan Satu Peta (KSP), tiga tahapan harus dilalui, yaitu kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi. Pada tahap kompilasi, berbagai peta tematik milik pemerintah dikumpulkan Badan Informasi Geospasial (BIG). Kemudian, pada tahap integrasi, berbagai peta tematik yang terkumpul disesuaikan peta dasar yang dijadikan acuan oleh BIG.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dua proses awal itu telah rampung, tetapi proses sinkronisasi terhambat temuan BIG yang menunjukkan sejumlah ketidaksesuaian data antarpeta tematik. Ketidaksesuaian atau tumpang tindih itu harus segera dikoreksi BIG agar dapat menghasilkan peta yang akurat dan selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan penyusunan perencanaan pembangunan.
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Deputi Bidan Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo (tengah) dan Deputi Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Nurwadjedi saat berdiskusi tentang percepatan pelaksanaan Kebijakan Satu Peta di Jakarta, Selasa (24/7/2018)
“Koreksi yang kami lakukan pada ketidaksesuaian data itu akan mengandung konsekuensi hukum,” kata Deputi Bidan Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo di Jakarta, Selasa (24/7/2018). Untuk menyelesaikan masalah itu, dibutuhkan peran aktif instansi pemerintah terkait.
Tumpang tindih perizinan dan pemanfaatan ruang itu bisa memicu konflik ruang yang menghambat pembangunan nasional. “Masalah harus segera diselesaikan karena tujuan awal KSP ialah menyediakan acuan bersama bagi penyusunan perencanaan pembangunan,” kata Deputi Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial Nurwadjedi.
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Deputi Bidan Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menjelaskan proses integrasi peta tematik dalam pelaksanaan Kebijakan Satu Peta, Selasa (24/7/2018)
Untuk menghasilkan peta yang dapat digunakan sebagai acuan pembangunan, BIG harus menggolongkan tumpang tindih lahan yang ditemukan dalam sejumlah peta tematik ke dalam tiga kategori. Pertama, tumpang tindih lahan yang diperbolehkan. Kedua, tumpang tindih lahan yang diperbolehkan dengan syarat tertentu. Ketiga, tumpang tindih lahan secara tegas tidak diperbolehkan.
“Contoh untuk kategori ketiga adalah penerbitan Izin Usaha Tambang di wilayah konservasi hutan,” kata Asisten Deputi Bidang Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kementerian Koordinator Ekonomi Dodi Slamet Riyadi. Kategorisasi itu tak bisa dilakukan sendiri oleh Tim Percepataan KSP tanpa bantuan dari instansi pemerintah terkait.
Sejak 2016, Sekretariat Tim Percepataan KSP telah mengumpulkan 82 peta tematik dari target pencapaian 85 peta tematik. Tiga peta tematik yang belum terkumpul itu ialah Peta Rencana Tata Ruang Laut Nasional, Peta Batas Desa, dan Peta Rencana Rinci Wilayah Pertahanan. “ Untuk Peta Batas Desa pemerintah daerah perlu didorong untuk segera merampungkannya tahun ini,” kata Wahyu.
Melalui KSP, perekonomian Indonesia diharapkan meningkat seiring membaiknya iklim investasi. Lewat satu acuan peta, investor terhindar dari konflik lahan yang disebabkan tumpang tindih perizinan. “Selain itu, KSP dibutuhkan sebagai dasar analisis pengambilan keputusan dalam redistribusi lahan pada rakyat agar tepat sasaran, trasparan, dan akuntabel,” ujar Wahyu. (PANDU WIYOGA)–EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 25 Juli 2018