Penerapan sistem kredit semester di SMA semakin diminati olehsekolah-sekolah. Sistem ini memungkinkan siswa menentukan lama pembelajaran sesuai dengan kapasitas masing-masing.
“Data per tahun 2018 ada 144 SMA yang menerapkan sistem SKS (satuan kredit semester). Jumlahnya bertambah dari 114 SMA di tahun 2016,” kata Direktur Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Purwadi Sutanto di Jakarta, Senin (9/7/2018).
Provinsi Jawa Timur merupakan wilayah terbanyak yang memiliki SMA bersistem SKS, yakni 56 sekolah. DKI Jakarta menduduki peringkat kedua dengan 13 sekolah. Menurut Purwadi, ada banyak SMA mengajukan diri untuk mengubah sistem pembelajaran ke pola SKS. Akan tetapi, pemerintah tidak mudah memberi izin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Harus dicermati dulu kesiapan setiap sekolah untuk berubah ke sistem SKS. Guru-guru adalah hal pertama yang diwajibkan beradaptasi,” tutur Purwadi.
KOMPAS/IQBAL BASYARI–Ilustrasi: Suasana belajar di SMK N 2 Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/1/2017).
Direktorat Pembinaan SMA Kemendikbud sudah mengeluarkan pedoman standar sistem SKS. Saat ini, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud tengah menggodok pedoman dan petunjuk teknis yang lebih terperinci.
Kebebasan siswa
Purwadi menjelaskan, sistem SKS diciptakan untuk menghapus sistem akselerasi. Sebelum tahun 2006, siswa cerdas istimewa dikelompokkan ke dalam kelas istimewa, yaitu kelas akselerasi. Mereka diberi pembelajaran secara intensif agar bisa lulus SMA selama dua tahun.
Evaluasi yang didapat dari program tersebut ternyata kontraproduktif. Tidak semua siswa cerdas istimewa mau lulus SMA dalam dua tahun. Di samping itu, metode pembelajaran berupa latihan soal terus-menerus yang membuat siswa tertekan.
“Metode mengelompokkan siswa cerdas istimewa ke dalam kelas khusus juga membuat mereka terisolasi dan tidak bisa mengembangkan kompetensi afektif dan sosial dengan maksimal,” ujar Purwadi.
Dalam sistem SKS, siswa tidak dikelompokkan berdasar kecerdasan. Mereka berada di kelas yang heterogen, hanya cara setiap siswa belajar berbeda-beda.
Kepala Subdirektorat Kurikulum SMA Eko Warisdiono menjabarkan, sistem SKS di SMA tidak sama dengan di perguruan tinggi. Mata pelajaran yang diambil berupa paket sesuai dengan tingkat kelas seperti kelas X, XI, dan XII. Perbedaannya, pada pembelajaran reguler guru membagi materi suatu mata pelajaran ke dalam pertemuan-pertemuan tatap muka.
“Contoh sederhananya, guru memecah materi matematika kelas X ke dalam 30 pertemuan. Setiap materi sudah ditentukan waktu pembelajarannya secara rigid. Ketika waktu pembelajaran tersebut habis, guru akan lanjut ke materi berikutnya walaupun ada siswa yang belum paham sepenuhnya,” paparnya.
Dalam sistem SKS, siswa menentukan sendiri jumlah materi yang mereka pelajari di setiap pertemuan sesuai kemampuan masing-masing. Target utamanya adalah memahami mata pelajaran sesuai standar kurikulum di akhir semester, cara belajarnya ditentukan oleh siswa.
Hal ini membuat siswa yang kurang pandai dalam pelajaran itu memiliki lebih banyak waktu untuk menyerap materi karena tidak dikejar tenggat waktu mingguan. Adapun bagi siswa yang unggul di suatu mata pelajaran bisa menyelesaikan lebih awal dari waktu yang ditentukan. Sisa waktunya digunakan untuk pengayaan seperti membuat proyek ataupun mengerjakan soal-soal yang lebih menantang.
Siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan SMA dalam dua tahun atas keputusan sendiri. Mereka juga bisa mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. “Butuh kerja sama tim di antara para guru. Tugas guru ialah memastikan setiap siswa benar-benar siap untuk melanjutkan ke materi berikutnya,” kata Eko.
Egaliter
Guru Besar Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan menjelaskan, sistem SKS memberi layanan kepada siswa untuk mencapai target kurikulum sesuai cara masing-masing. Hal ini melatih kemampuan siswa belajar mandiri, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab atas keputusan itu.
“Lebih penting lagi, di sistem SKS penjaminan siswa mencapai pemahaman sesuai standar merupakan keniscayaan. Mereka tidak perlu cemas guru berpindah ke materi lain sebelum mereka paham sepenuhnya,” ucapnya. (DNE)–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 10 Juli 2018