Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir sementara aplikasi Tik Tok, Selasa (3/7/2018). Media sosial yang memungkinkan penggunanya membuat video pendek dengan kreatif itu dinilai tak ramah anak karena mengandung konten negatif seperti pornografi, asusila, dan pelecehan agama.
Sebelumnya, sejumlah aplikasi juga pernah diblokir atau diancam diblokir pemerintah, seperti Vimeo, Reddit, Netflix, Telegram hingga WhatsApp. Beberapa aplikasi itu masih diblokir hingga kini. Selain konten berbau pornografi, aplikasi itu juga dimanfaatkan untuk penyebaran informasi radikalisme.
Aplikasi teknologi informasi, termasuk media sosial, adalah produk teknologi. Semua produk teknologi ibarat pedang bermata dua, bisa menguntungkan sesuai semangat asal pembuatannya atau merugikan meski kemunculan efek buruk itu sering tidak disadari atau baru dirasakan dalam waktu lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ AGUS SUSANTO–Ilustrasi media sosial
Gwenn S O’Keeffe dan Kathleen Clarke-Pearson dalam The Impact of Social Media on Children, Adolescent and Families di jurnal Pediatrics, April 2011 menyebut media sosial bisa dimanfaatkan untuk menjalin komunikasi dan bersosialisasi, meningkatkan kreativitas, menumbuhkan kesadaran sosial, hingga mengakses sumber pelajaran.
Bagi remaja, media sosial juga bisa dimanfaatkan untuk mengakses informasi kesehatan yang benar, terutama untuk hal-hal yang masih dianggap aib, seperti masalah kesehatan jiwa dan hal tabu seperti informasi tentang kesehatan reproduksi.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Mahasiswa STMIK Muhammadiyah Jakarta (berjas biru) membantu salah seorang peserta Pengkajian Ramadan PP Muhammadiyah memanfaatkan media sosial untuk membuat meme positif untuk berdakwah.
Sebaliknya, media sosial juga bisa memunculkan sejumlah persoalan, seperti perundungan siber, pelecehan daring, sexting (mengirim, menerima dan meneruskan pesan, foto atau gambar mengandung unsur seksual), dan depresi.
Persoalannya, dampak buruk media sosial itu lebih rentan terjadi pada remaja dibanding orang dewasa. Remaja cenderung abai dengan persoalan privasi dan mudah tergoda iklan.
Di Indonesia pada 2017, 40 persen penduduknya menggunakan media sosial secara aktif, tumbuh 34 persen dibanding tahun sebelumnya (We Are Social dan Hootsuite, Digital in 2017). Sebagian besar diantaranya adalah remaja dan penduduk usia muda. Mereka rata-rata menghabiskan 3 jam 16 menit per hari untuk mengakses media sosial.
Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mayke S Tedjasaputra di Jakarta, Rabu (4/7/2018) mengatakan bagi anak usia sekolah dasar dan remaja, media sosial bisa berdampak positif atau negatif, tergantung konten yang diikuti atau ditekuni.
“Makin dini terpapar media sosial, pengaruh negatifnya akan lebih banyak berperan,” katanya.
Repotnya, sebagian orangtua justru memfasilitasi dan mendorong penggunaan media sosial tanpa mengontrol dan memandu anaknya untuk menjelaskan mana yang pantas atau layak bagi anak sesuai umur mereka. Bahkan, sebagian orangtua justru bangga bila anak kecilnya sudah bisa merekam video dan mengunggahnya ke media sosial.
Pengaruh
Anak adalah individu yang belum matang. Pola pikir dan kondisi mental mereka masih berkembang. Padahal, kematangan berpikir dan mental itu sangat memengaruhi pemahaman dan cara anak menanggapi informasi yang ada.
“Konten yang tidak sesuai dengan usia anak akan membuat mereka gagal paham, memengaruhi perilakunya hingga membuat anak jadi dewasa sebelum waktunya,” tambah Mayke.
Orangtua punya peran sentral dalam pemanfaatan media sosial dan penggunaan gawai pada anaknya. Orangtua perlu membatasi dan mendampingi penggunaan gawai anaknya, sejak mereka masih balita.
Pemblokiran oleh pemerintah hanya salah satu cara agar pengelola media sosial mengelola kontennya hingga meminimalkan dampak buruknya, khususnya pada anak. Namun nyatanya, konten negatif masih sering muncul di media sosial.
Karena itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati mengingatkan, “Filter terbaik media sosial adalah pengguna dan orangtua jika pengguna media sosial adalah anak-anak,” katanya.
Kondisi itu menuntut kebijakan orangtua. Namun, upaya mengontrol itu akan percuma jika orangtualah yang justru keranjingan media sosial dan gawai. (MZW)–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 5 Juli 2018