Aktivitas manusia mengubah perilaku beberapa mamalia di seluruh dunia lebih aktif di malam hari. Perilaku yang dilakukan guna menghindari perjumpaan dengan manusia itu rentan memicu efek merugikan jangka panjang bagi mamalia itu sendiri.
Dalam jurnal Science, 14 Juni 2018, peneliti menganalisa 76 publikasi penelitian yang memantau aktivitas 62 spesies mamalia (termasuk hewan nokturnal atau aktif saat malam hari) di enam benua. Mereka membandingkan aktivitas spesies pada malam hari selama periode waktu dan lokasi dengan tingkat gangguan manusia yang tinggi, seperti musim berburu atau daerah yang punya banyak jalan, dengan malam hari saat minim aktivitas manusia.
Temuan mereka menunjukkan sebagian besar mamalia menjadi rata-rata 20 persen lebih aktif di malam hari sebagai respon atas gangguan manusia. Anjing hutan (Canis latrans), misalnya, bila sebelumnya terbiasa membagi aktivitas secara merata antara siang dan malam, mereka kini beraktivitas hampir 70 persen di area jalur pendakian dekat Pegunungan Santa Cruz, California saat malam hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Beberapa kasus lebih ekstrim,” kata penulis utama Kaitlyn Gaynor, ekolog margasatwa di University of California, Berkeley, pada Nature, 14 Juni 2018.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Kebakaran, pembalakan, perambahan, dan perburuan satwa dilindungi merupakan ancaman terbesar dalam kawasan Taman Nasional Berbak dan Sembilang di batas Jambi-Sumatera Selatan, April Lalu. Keberadaan polisi hutan dari balai taman nasional setempat tidak memadai untuk mengamankan hutan gambut itu dari kerusakan. Di beberapa tempat di dunia, aktivitas manusia juga picu perubahan perilaku mamalia.
Antelop (Hippotragus niger), yang biasanya mendaki di siang hari, menggeser sekitar 50 persen aktivitas mereka ke malam hari di Taman Nasional Hwange, Zimbabwe. Tak seperti di Indonesia, selain berfungsi sebagai kawasan perlindungan, taman nasional ini juga menjadi area perburuan.
Kondisi ini, kata para ahli, rentan memicu masalah di kemudian hari. Chris Darimont, ilmuwan konservasi di University of Victoria di Kanada, kegiatan yang tidak mematikan, termasuk mendaki gunung dan pertanian, bagi mamalia ternyata memicu respons mematikan, seperti kebiasaan berburu.
“Tidak masalah piknik di taman atau menebang pohon, satwa liar di sekitar kita melihatnya sebagai risiko bagi kelangsungan hidupnya,” kata Darimont.
Ahli biologi konservasi di Radboud University di Nijmegen, Belanda Ana Benítez-López mengatakan, kondisi itu membuat banyak karnivora mengandalkan indera pengelihatan saat berburu.
“Jika hewan harus mengalihkan kegiatan di malam hari, mereka mungkin kurang berhasil. Dan, ketika spesies tidak makan atau kawin dengan benar, itu dapat memiliki efek merugikan jangka panjang bagi kelangsungan hidup mereka,” kata Benítez-López.
Ke depannya, Gaynor menyarankan manusia mulai membatasi rekreasi untuk jam-jam tertentu. Strategi itu telah membatasi kegiatan selama waktu tertentu dalam setahun. Salah satu contohnya sudah diterapkan di beberapa rute pendakian tebing Pegunungan Adirondack, New York. Kawasan ini ditutup selama musim kawin burung falcon (Falco peregrinus).
“Hanya karena kita tidak melihat margasatwa setiap hari, bukan berarti (mereka) tidak ada di luar sana,” kata dia.
Marlee Tucker, yang mempelajari pola ekologi di Pusat Penelitian Iklim dan Biodiversitas Senckenberg, Frankfurt, Jerman, menyarankan agar penelitian ini dilengkapi konsekuensi fenomena perubahan perilaku satwa. Utamanya, dari sisi reproduksi dan mencari makan.–ICHWAN SUSANTO/NATURE
Sumber: Kompas, 19 Juni 2018
—————
Indonesia Seburuk Madagaskar dalam Memperlakukan Primata
Sebuah tim peneliti primata internasional terkemuka telah menganalisis dan mengevaluasi situasi banyak spesies primata non-manusia yang terancam punah di Brasil, Madagaskar, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo. Dalam penelitian, yang paling mengerikan adalah situasi di Indonesia dan Madagaskar. Sebesar 90 persen populasi primata menurun dan lebih dari tiga perempat spesies terancam punah.
Artikel ulasan para peneliti Pusat Primata Jerman (Deutsches Primatenzentrum/DPZ)—Institut Leibniz untuk Penelitian Primata—tersebut diterbitkan dalam sciencedaily.com edisi 17 Juni 2018.
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ–Dua orangutan, Mina (36), dan anaknya, Chaterine (3), sehabis menyantap dua sisir pisang di Taman Nasional Gunung Leuser, Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, SUmatera Utara, 8 Mei.
Dalam studinya, para peneliti menyelidiki pengaruh aktivitas manusia pada populasi primata liar. Perusakan hutan alam dan konversi hutan lindung menjadi lahan pertanian mengancam banyak spesies kehilangan habitatnya. Namun, perburuan dan perdagangan daging satwa liar juga menyebabkan penurunan besar dan cepat dari banyak populasi. Simulasi ekspansi lahan pertanian pada akhir abad menunjukkan penurunan hingga 78 persen di daerah distribusi banyak spesies primata.
Dalam penelitiannya, para ilmuwan meminta tindakan segera untuk melindungi spesies primata yang terancam punah dan memberikan rekomendasi untuk konservasi primata jangka panjang dan untuk mencegah kepunahan primata.
Primata hidup di daerah tropis dan subtropis dan terutama ditemukan di wilayah Afrika, Amerika Selatan, Madagaskar, dan Asia. Badan Konservasi Dunia (IUCN) saat ini mendaftar 439 spesies primata. Sebanyak 65 persen (286 spesies) di antaranya berlokasi di empat negara, yaitu Brasil, Indonesia, Madagaskar, dan Republik Demokratik Kongo. Sekitar 60 persen dari mereka terancam punah.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–”Tukang Beruk” adalah sebutan bagi pemilik beruk yang naik sepeda motor melintas di Desa Payo, Kota Solok, Sumatera Barat, Jumat (16/12). Beruk akan mendapatkan upah dua buah kelapa setelah berhasil memetik 10 buah kelapa.
Dalam tinjauan literatur yang komprehensif, para peneliti menganalisis faktor-faktor ancaman utama untuk primata di empat negara. Di Brasil, Madagaskar, dan Indonesia, peningkatan kerusakan habitat mereka merupakan pemicu stres bagi hewan. Di Republik Demokratik Kongo, perdagangan daging satwa liar adalah ancaman terbesar. Selain itu, primata juga dijual secara ilegal sebagai hewan peliharaan atau digunakan dalam pengobatan tradisional. Kemiskinan, kurangnya pendidikan, ketidakamanan pangan, serta ketidakstabilan politik dan korupsi lebih lanjut mendorong penipisan sumber daya alam di negara-negara terkait dan membuatnya lebih sulit untuk melindungi hewan.
”Perusakan lingkungan alam melalui deforestasi, perluasan lahan pertanian, dan pembangunan infrastruktur untuk mengangkut barang telah menjadi masalah besar,” kata Christian Roos, ilmuwan di Laboratorium Genetika Primata di DPZ.
KOMPAS/HARRY SUSILO–Hamparan hutan yang hijau masih dapat dijumpai di dalam hutan Wehea, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, seperti yang terlihat Minggu (8/10/2017). Hutan seluas 38.000 hektar ini belum juga ditetapkan sebagai hutan lindung meskipun memiliki kekayaan flora dan fauna yang luar biasa, menjadi habitat orangutan, dan menjadi sumber air ke Sungai Wahau.
Kontributor utama dari perkembangan ini, kata Roos, adalah negara-negara industri. Ada permintaan yang tinggi untuk bahan baku seperti kedelai, minyak sawit, karet, kayu keras, atau bahan bakar fosil. Empat negara yang kaya akan primata ini mencakup 50 persen dari barang ekspor ini ke China, India, AS, dan Eropa.
Para ilmuwan menggabungkan data dari PBB dan basis data Bank Dunia untuk menyimulasikan perkiraan penyebaran lahan pertanian di empat negara hingga pergantian abad. Dengan asumsi skenario terburuk, para peneliti mampu memprediksi penurunan rentang geografis populasi primata. Dengan demikian, pada tahun 2100 sebanyak 78 persen habitat primata di Brasil, 72 persen di Indonesia, 62 persen di Madagaskar, dan 32 persen di Kongo bisa hilang.
Pada saat yang sama, peneliti menyelidiki ukuran dan distribusi kawasan hutan lindung. Perkiraan mereka menunjukkan bahwa Brasil dan Madagaskar memiliki sekitar 38 persen, Indonesia 17 persen, dan Republik Demokratik Kongo 14 persen habitat primata di kawasan hutan lindung. Mayoritas area distribusi tanpa status perlindungan dan primata karenanya menjadi terancam.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO–Seekor lutung jawa (Trachyphitacus auratus) dan seekor kukang jawa (Nycticebus javanicus) disita Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Cilacap dari pedagang di Pasar Wage, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (13/2/2018). Penyitaan itu dilakukan Polres Cilacap bekerja sama dengan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara serta Resor Konservasi Wilayah Cilacap Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang.
Para peneliti menyerukan perluasan kawasan hutan lindung, reboisasi hutan, dan penanaman koridor sebagai langkah penting untuk melestarikan populasi primata. Selain itu, penduduk lokal juga harus dibuat sadar akan situasi genting. Pemerintah, ilmuwan, organisasi konservasi, dan ekonom perlu bekerja sama untuk mempromosikan pertanian organik yang berkelanjutan sambil mempertahankan gaya hidup tradisional. Selain itu, pemerintah negara-negara terkait juga harus bekerja lebih keras untuk memerangi perburuan ilegal, perusakan hutan, dan perdagangan primata.
”Primata seperti burung kenari di tambang batubara,” kata Christian Roos.
Maksudnya, primata sangat berharga untuk keanekaragaman hayati tropis karena mereka sangat penting untuk regenerasi hutan dan ekosistem yang stabil. Kepunahan mereka akan berfungsi sebagai lonceng alarm bagi manusia dan indikasi bahwa habitat ini akan menjadi tidak dapat digunakan dalam jangka panjang.
Di Indonesia, beberapa spesies primata yang biasa diberitakan diperdagangkan dalam harian Kompas adalah orangutan (Pongo sp), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), siamang (Symphalangus syndactylus), kukang (Nycticebus coucang), tarsius (Tarsius bancanus), simpai (Presbytis melalophos), kuskus (Phalanger spp), beruk (Macaca nemestrina), dan beruk mentawai (Macaca pagensis).
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Seorang relawan memantau saat-saat pertama seekor kukang sumatera (Nycticebus coucang) keluar dari kandang ke dahan di kandang habituasi Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Batutegi, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Senin (2/5). Pusat penyelamatan dan rehabilitasi satwa Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) melakukan translokasi (pemindahan) delapan individu kukang sumatera hasil sitaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat di Serang, Banten, pada November 2013.
Salah satu spesies orangutan, yaitu orangutan kalimantan (Pongo Pygmaeus), tarsius, kukang, kuskus, dan beruk mentawai adalah satwa liar primata asli Indonesia yang dilindungi Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Karena permintaan untuk perdagangan, baik legal maupun ilegal, populasi primata asli Nusantara terus merosot. Harian Kompas, 24 Agustus 2017, melaporkan, jumlah orangutan yang berada di Indonesia menurun seiring menyempitnya wilayah habitat orangutan. Berdasarkan analisis kelangsungan hidup populasi dan habitat atau Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) 2016, populasi orangutan kalimantan berkurang dibandingkan dengan 10 tahun lalu. Saat ini, populasinya diperkirakan 57.350 orangutan di habitat seluas 16,01 juta hektar. Sepuluh tahun lalu ada 54.817 orangutan di area seluas 8.195.000 hektar. Jika membandingkan kepadatan populasi, ada penurunan dari 0,45-0,76 orangutan per kilometer persegi menjadi 0,13-0,47 orangutan per km persegi.
”Penurunan populasi orangutan disebabkan antara lain hutan beralih fungsi,” kata Ketua Forum Orangutan Indonesia Herry Djoko Susilo saat sosialisasi hasil PHVA di Jakarta, Selasa, 22 Agustus 2017.
TEDDY TUSYANDI–Tarsius
Tarsius bahkan menuju kepunahan, salah satunya tarsius di Kepulauan Togean, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tarsius sering diburu penduduk karena salah paham. Penduduk mengira tarsius memakan hasil pertanian mereka. Padahal, justru tarsiuslah primata satu-satunya di dunia yang tidak doyan daun, buah, ataupun sayuran. Ia termasuk karnivora karena memakan serangga dan binatang kecil lain yang ditangkapnya (harian Kompas, 4 Juli 2002).
Populasi tarsius di Tangkoko, Sulawesi Utara, juga menurun. Pada tahun 2008, tersisa 1.800 ekor. Padahal, pada tahun 1998, jumlah tarsius masih berkisar 3.500 ekor (harian Kompas, 8 November 2008). Tahun 1991, ditaksir masih hidup sampai 20.000-an ekor (Harian Kompas, 1 Desember 1991).–SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 18 Juni 2018