Pembelajaran berbasis nalar tingkat tinggi tidak mesti diterapkan secara rumit. Penalaran dapat diterapkan dengan mengamati, menganalisis, dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar. Siswa diberi kebebasan mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya.
”Pembelajaran berbasis nalar tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS) tak perlu langsung diartikan sebagai inovasi atau penemuan berbasis teknologi canggih,” kata Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta S Bayu Wahyono di Yogyakarta, Rabu (16/5/2018).
Ia mengingatkan, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kepekaan siswa terhadap lingkungan sekitar mereka. Hal itu tampak sederhana, tetapi sangat membantu dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Melalui pemahaman terhadap konsep dan konteks lingkungan sekitar, siswa ditantang untuk menganalisis dan menciptakan berbagai kemungkinan jalan keluar untuk masalah, misalnya, kebersihan lingkungan dan membangun toleransi terhadap sesama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Hal pertama yang mesti diperhatikan ialah sistem pendidikan di sekolah tidak boleh mematikan daya imajinasi anak. Prinsip ini masih merupakan tantangan besar bagi pendidikan di Indonesia secara umum,” tutur Bayu.
–Sejumlah pelajar menggunakan perahu menuju sekolah di Kecamatan Pangururan, Pulau Samosir, Sumatera Utara,. Pembelajaran bernalar dapat diterapkan dengan menantang siswa mengatasi masalah sekitar.
Ia menjelaskan, selama masa Orde Baru, pendidikan merupakan alat negara mengendalikan warga. Bertentangan dengan tujuan sejati pendidikan, yaitu memerdekakan manusia. Praktis, metode pendidikan yang digunakan di sekolah menciptakan siswa yang patuh. Guru bertindak sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kedisiplinan.
Setelah Reformasi, pendidikan kembali bertujuan untuk mencerdaskan dan memerdekakan warga. Kurikulum diciptakan untuk mengembangkan kompetensi, tidak sekadar menghafal dan memahami. Akan tetapi, hal tersebut tidak disertai reorientasi guru dan tenaga pendidikan. Akibatnya, terjadi paradoks dalam dunia pendidikan.
”Dalam transformasi pendidikan, guru secara bertahap diajak menjadi bagian dari pemecahan masalah, bukan sebagai sumber ilmu tunggal,” kata Bayu.
Dalam hal ini, guru sebagai pembelajar merupakan keniscayaan. Ia mengungkapkan, dalam penelitiannya terhadap guru di Yogyakarta dan Jawa Tengah, motivasi masih diperlukan agar mereka mau meningkatkan kapasitas. Minimal itu dilakukan dengan cara banyak membaca.
Ia menjelaskan, terdapat pula guru-guru kreatif yang haus pengetahuan baru. Akan tetapi, kerap ditemukan guru-guru tersebut harus memiliki kekuatan untuk melawan tekanan struktur yang birokratis. Padahal, jika guru tak diberi keleluasaan mengembangkan kreativitas, siswa juga tidak bisa keluar dari pemikiran yang terkotak-kotak.
Sementara itu, dosen Kurikulum dan Evaluasi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Yuli Rahmawati, mengungkapkan, transformasi guru harus dimulai dari pemahaman mereka terhadap konsep ilmu pengetahuan secara mendasar. Pemahaman ulang konsep ini yang akan mendobrak prinsip bahwa pembelajaran hanya berupa menghafal dan latihan soal terus-menerus.
Pelatihan
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Heru Purnomo mengungkapkan, dalam transformasi guru perlu dipetakan kebutuhan para guru, yaitu peningkatan kapasitas. Ia menekankan, mutu dan kemampuan guru beragam. Ada yang masih level dasar, ada pula yang sudah mencapai level pakar. ”Pelatihan yang diberikan tidak bisa menggunakan satu standar. Harus ada jenis pelatihan berdasarkan tingkat kepakaran guru,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) Mark Heyward mengatakan, peningkatan mutu pendidikan yang sesuai abad ke-21 harus dimulai dengan menyediakan pembelajaran di kelas atau sekolah yang bermakna.
Upaya memperbaiki pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk menghasilkan siswa yang berpikir kritis dan kreatif—sehingga berkembang pada kecakapan berpikir tinggi lewat implementasi Kurikulum 2013—belum sepenuhnya mampu diterjemahkan guru di ruang kelas.
Mark mengatakan, program Inovasi untuk memperkuat kemampuan dasar literasi dan numerasi siswa sejak pendidikan dasar penting untuk membantu guru mengembangkan pembelajaran yang berangkat dari kearifan lokal atau kondisi yang ada di sekitar sekolah. Karena itu, pendidikan kontekstual, yang berangkat dari apa yang diketahui dan dipahami anak, serta yang relevan dengan kehidupannya, mampu membuat pembelajaran lebih dipahami siswa dan menjadi bermakna. (DNE/ELN)–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 17 Mei 2018