Peneliti diharapkan lebih melek terhadap kebutuhan masyarakat ketika menciptakan produk kesehatan. Hal itu bertujuan agar hasil penelitian bisa berdampak langsung bagi masyarakat dan bernilai ekonomi. Oleh karena itu, regulasi tentang produk kesehatan dan pelibatan industri harus sudah dipikirkan sejak awal melakukan penelitian.
“Di Indonesia, anggaran penelitian terbatas sehingga kita mesti memilih. Tidak seperti di negara maju, kita bisa meneliti apa saja. Tentu boleh meneliti yang itu, tetapi yang difokuskan adalah penelitian yang bisa menghasilkan suatu produk yang bisa dikomersialisasikan,” kata Amin Soebandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam diskusi bertema “Strategi Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat”, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (7/5/2018).
Cara untuk mengetahui produk yang bisa dikomersialisasikan itu adalah dengan melihat kebutuhan masyarakat. Hal itu bisa menarik industri untuk terlibat dalam pengembangan penelitian karena hasil penelitian itu merupakan kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO–Amin Soebandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, saat memaparkan presentasinya dalam diskusi bertema “Strategi Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Kesehatan Masyarakat”, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (7/5/2018).
Bahkan, Amin menyarankan agar penelitian hendaknya melibatkan industri sejak awal. Tujuannya agar hasil dari penelitian itu bisa mengikuti regulasi tentang produk kesehatan dari pemerintahan sehingga hasilnya nanti bisa berdampak langsung dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Peneliti dari awal sudah harus memikirkan, memilih topik penelitian yang bisa dikomersialisasi, kemudian melibatkan industri dari awal. Tujuannya agar sedari awal sudah didesain hasil penelitian ini akan menjadi produk yang mengikuti regulasi dan fit masuk ke industri,” kata Amin.
Amin menyatakan, kerap kali peneliti mengeluhkan hasil penelitiannya tidak sesuai regulasi yang terdapat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Apabila tidak lolos dari segi regulasi, maka peneliti harus mengulang dari awal penelitiannya. Hal itu berakibat pada pemborosan biaya penelitian.
Menjaga konsumen
Namun, Herawati, Ahli Madya Pengawas Farmasi dan Makanan BPOM, mengatakan, regulasi pemerintah itu sebenarnya bukan sebuah hambatan. Regulasi itu hadir untuk menjaga keamanan dan kenyamanan konsumen dalam mengonsumsi suatu produk kesehatan.
“Kami hadir untuk screening produk-produk mana saja yang aman. Tujuannya untuk memberikan produk dengan mutu terbaik kepada masyarakat,” kata Herawati.
Herawati menyampaikan, BPOM sangat terbuka kepada peneliti yang ingin mengadakan dialog terkait penelitiannya tentang suatu produk kesehatan. Hal tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
“Pemerintah sebetulnya sangat mendukung peneliti untuk mengembangkan produk-produk kesehatan. Instruksi itu dibuat prioritasnya untuk menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan layanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional,” kata Herawati.
Selain itu, Herawati menyampaikan, daya saing juga berusaha dikuatkan melalui instruksi presiden tersebut. Hal itu bertujuan untuk mencapai kemandirian dalam urusan kesehatan pada masa mendatang.
KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO–Amin Soebandrio (kiri), Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dalam diskusi bertema “Strategi Hilirisasi Hasil Penelitian untuk Kesehatan Masyarakat”, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Senin (7/5/2018).
Dorong swasta
Sekretaris Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Prakoso mengatakan, untuk mengembangkan inovasi penelitian pihak swasta harus lebih aktif. Alasannya adalah penerima manfaat dari hasil riset tersebut adalah masyarakat industri itu.
“Tidak semuanya dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah sebagai regulator. Tetapi, pengguna hasil penelitian itu untuk diproduksi ya masyarakat industri itu sendiri,” ujar Prakoso.
Saat ini, pemerintah masih dominan dalam hal pendanaan riset untuk inovasi itu. Pemerintah ambil bagian sebesar 83,8 persen dalam hal pendanaan riset tersebut. Sementara itu, perusahaan baru sebesar 9,15 persen.
Terkait hal itu, Direktur PT Kalbe Farma Sie Djohan menyatakan, ingin terlibat dalam pengembangan inovasi di bidang kesehatan melalui pendanaan yang diberikan kepada para peneliti. Total Rp. 1,5 miliar akan digelontorkan untuk mendanai penelitian riset kesehatan dalam ajang Ristekdikti-Kalbe Science Awards 2018. Para peneliti akan didorong untuk membuat hasil-hasil penelitian yang berguna bagi masyarakat.–NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sumber: Kompas, 8 Mei 2018