Di era digital, teknologi tepat guna tetap dibutuhkan masyarakat. Keberadaan teknologi tepat guna justru bisa dimanfaatkan untuk mengungkit kesejahteraan masyarakat dan daerah.
Teknologi tepat guna bisa dijadikan pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Teknologi tepat guna juga bisa mendukung rencana pemerintah memasuki era revolusi industri 4.0. Namun, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna masih setengah hati.
“Meski penggunaan teknologi informasi makin luas, TTG (teknologi tepat guna) masih tetap dibutuhkan,” kata Kepala Pusat Pengembangan TTG Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Subang, Jawa Barat Pramono Nugroho dihubungi dari Jakarta, Sabtu (5/5/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
TTG atau appropriate technology adalah teknologi yang sesuai kebutuhan masyarakat, dapat dimanfaatkan dan dipelihara masyarakat secara mudah dan mandiri, tidak merusak lingkungan, serta menghasilkan nilai tambah secara ekonomi dan lingkungan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA–Pekerja menyelesaikan pembuatan alat perontok padi di Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Senin (24/7/2017). Teknologi tepat guna pertanian tersebut mulai banyak digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan lebih efisien.
Muhammadi Siswo Sudarmo dalam Perspektif Pengembangan TTG, 2005 menyebut secara global, pengembangan TTG jadi perhatian banyak negara dan lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak akhir 1970an. TTG diyakini mampu mempercepat pembangunan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di negara-negara berkembang dan miskin dengan memanfaatkan teknologi.
Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Laksana Tri Handoko mengatakan, TTG tidak melulu teknologi tingkat rendah, tapi bisa juga teknologi maju. “TTG adalah semua jenis teknologi yang bisa memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat,” katanya.
Selama ini, TTG juga sering dianggap sebagai teknologi perdesaan. Persepsi itu muncul karena memang banyak TTG yang dihasilkan diperuntukan bagi masyarakat perdesaan.
“Kondisi itu terjadi karena kebutuhan teknologi untuk menunjang kehidupan masyarakat perdesaan masih tinggi,” kata Laksana.
KOMPAS/ALBERTUS HENDRIYO WIDI (HEN)–Sejumlah petani sedang memasukkan gabah ke mesin pengering gabah yang bahan bakar pemanasnya dari sekam atau kulit padi di Desa Mlatiharjo, Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Minggu (25/5/2014). Melalui teknologi tepat guna itu, para petani di Desa Inovatif Mlatiharjo itu dapat mengeringkan gabah tanpa khawatir kehujanan sekaligus meningkatkan kualitas gabah.
Karena itu, Laksana yakin konsep revolusi industri 4.0 yang digagas pemerintah justru akan meningkatkan permintaan terhadap TTG karena kebutuhan masyarakat makin banyak dan beragam. Terlebih, tidak semua TTG bisa diterapkan di semua daerah.
Dengan berbagai karakter TTG itu, TTG tetap relevan untuk terus dikembangkan di Indonesia. TTG bisa dimanfaatkan untuk mengolah potensi ekonomi masyarakat dan daerah yang beragam, mulai dari pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan hingga industri makanan olahan.
Pemanfaatan TTG juga selaras dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo untuk membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa. Penggunaan TTG juga bisa meningkatkan efisiensi ekonomi dan menyerap tenaga kerja.
Kurang terperhatikan
Meski kemanfaatan TTG sangat besar dan dibutuhkan masyarakat, selama ini gaungnya jauh tertinggal dibanding jenis teknologi lain. Pengelolaan dan pemanfaatan TTG pun belum terkoordinasi baik.
Saat ini, satu-satunya lembaga yang fokus mengembangkan TTG di Indonesia adalah Pusat Pengembangan TTG LIPI. Namun, aneka riset TTG juga banyak dilakukan lembaga penelitian dan pengembangan lain, baik yang ada kementerian, lembaga penelitian non kementerian dan perguruan tinggi.
Banyaknya lembaga yang mengembangkan TTG itu terjadi karena lingkup bidang TTG memang sangat luas. Demikian pula kebutuhan dan kondisi antardaerah di Indonesia juga sangat banyak dan beragam.
Sementara itu, kementerian yang ditugaskan menangani TTG ada di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Dalam Negeri hingga berbagai kementerian teknis lain.
Meski demikian, belum ada lembaga pengoordinasi parapihak yang terlibat dalam pengembangan TTG. Akibatnya, potensi tumpang tindih atau duplikasi pengembangan teknologi sangat besar. Sebaliknya, banyak jenis TTG yang berpotensi tidak tergarap walau kebutuhannya tinggi.
Selain itu, tidak adanya lembaga yang berfungsi sebagai clearing house atau audit TTG yang akan diterapkan ke kelompok masyarakat tertentu membuat potensi ketidakberlanjutan teknologi baru yang diperkenalkan tinggi. Akibatnya, banyak bantuan TTG berbagai lembaga sering mangkrak, tak termanfaatkan, dan sia-sia.
“Sebelum dikenalkan ke masyarakat, sebuah teknologi seharusnya dikaji kecocokannya dengan budaya dan kesiapan masyarakat,” kata Pramono.
Pemerintah daerah (pemda), lanjut Pramono, sebenarnya punya peran besar untuk mengenalkan dan menyaring TTG yang bisa digunakan masyarakat di wilayahnya. Namun, banyak pemda kurang memerhatikan pemanfaatan TTG meski bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pemanfaatan TTG di daerah juga sangat bergantung pada kesadaran pemangku jabatan. Akibatnya, banyak program TTG yang dikenalkan ke masyarakat sulit berkelanjutan karena tidak berkesinambungannya program yang dijalankan pemda.–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 7 Mei 2018