Kendati ilmu pengetahuan sudah berkembang pesat, belum ada satupun ilmu yang bisa memprediksi datangnya bencana alam, terutama gemba bumi dan tsunami. Oleh karena itu penting bagi masyarakat untuk kembali menggunakan kearifan lokal yang ada untuk mitigasi bencana.
Perihal pentingnya kearifan lokal dalam mitigasi bencana disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka Pertemuan Ilmiah Tahunan-Riset Kebencanaan Tahun 2018 di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Rabu (2/5/2018).
Di hadapan Asosiasi Ilmuwan Kebencanaan Indonesia, Kalla menyampaikan bahwa terdapat bencana alam yang tak bisa dihindari, seperti gempa bumi dan tsunami. Ilmu pengetahuan hanya bisa mengungkapkan potensi gempa maupun potensi tsunami di daerah tertentu, tetapi tidak bisa memprediksi kapan bencana alam itu terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Sehebat-hebatnya ilmu belum bisa menentukan kapan gempa itu ada. Bahwa potensi gempa itu selalu ada, tapi kapannya tidak ada yang tahu, apalagi tsunami,” tuturnya.
Oleh karena itu hal yang penting dilakukan adalah meminimalisasi dampak buruk bencana. Bagaimana upaya untuk meminimalisasi korban serta kerusakan akibat bencana.
Sebenarnya, menurut Kalla, gempa bumi tidak pernah mematikan. Penyebab jatuhnya korban jiwa adalah bangunan yang runtuh akibat gempa.
Kalla mencontohkan gempa bumi dan tsunami di Aceh tahun 2004. Jumlah korban di Banda Aceh jauh lebih banyak dibanding korban jiwa di Pulau Simeulue. Padahal jarak pusat gempa lebih dekat dari Simeulue dibanding Banda Aceh.
KOMPAS/ANITA YOSSIHARA–Wakil Presiden Jusuf Kalla berpidato dalam pembukaan Pertemuan Ilmiah Tahunan-Riset Kebencanaan 2018 di Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Rabu (2/5/2018).
Saat itu, lanjut Kalla, jumlah korban jiwa di Simeulue 10 orang, sedangkan di Banda Aceh lebih dari 200.000 orang.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Itu karena budaya (kearifan lokal) dan pengetahuan. Ternyata di Simeulue ada budaya kalau ada gempa, masyarakat berlari ke tempat yang lebih tinggi. Sementara di Banda Aceh orang-orang malah ke laut karena melihat air laut surut,” ujar Kalla yang didampingi Ibu Mufidah Jusuf Kalla, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, serta Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar.
Belajar dari pengalaman tersebut, Wapres Kalla menyampaikan pentingnya pengembangan kearifan lokal untuk mitigasi bencana. Apalagi sebenarnya setiap daerah memiliki budaya untuk menghadapi bencana. Kearifan lokal itu seperti bentuk bangunan rumah serta budaya masyarakat melihat tanda-tanda alam.
Ketua Pertemuan Ilmiah Tahunan-Riset Kebencanaan 2018, Febrin Anas Ismail, menjelaskan, pertemuan juga dilakukan untuk membahas pemikiran dan pengalaman karakteristik bencana. Para ahli diharapkan memberikana kontribusi pemikiran dan berbagi pengalaman tentang manajemen bencana.
Penghargaan
Sementara dalam pertemuan itu, Wapres Kalla menerima penghargaan sepanjang masa atau lifetime achievement award dari Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia.
Febrin menjelaskan, lifetime achievement award merupakan bentuk penghargaan tertinggi bagi tokoh yang berjasa bagi penanggulangan bencana.
Menurut catatan, Wapres Kalla sudah melakukan 30 kegiatan terkait penanggulangan bencana alam dan bencana sosial. Hal itu menunjukkan dedikasi dan perhatian Kalla pada bilang penanggulangan bencana.
Dalam pidatonya, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Willem Rampangilei, juga menuturkan bahwa Kalla bukan hanya tokoh peduli bencana. Kalla merupakan pelaku dan pemikir penanggulangan bencana sejak dua dekade lalu.
“Bisa dikatakan bahwa JK (Jusuf Kalla) adalah soko guru penanggulangan bencana,” kata Willem.
Penghargaan yang diberikan pada Wapres Kalla merupakan penghargaan pertama di bidang kebencanaan. Oleh karena itulah Rektor Universitas Andalas, Tafdil Husni, mengharapkan, penghargaan tersebut bisa menginspirasi masyarakat untuk turut serta dalam pengembangan bidang kebencanaan.–ANITA YOSIHARA
Sumber: Kompas, 3 Mei 2018