Dunia mengenal orang Bajo sebagai kelompok masyarakat terbesar pengelana laut yang masih bertahan hingga kini. Mereka tersebar di ratusan permukiman di daerah pantai Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Selama lebih dari 1.000 tahun mereka hidup di dan dari laut serta membangun jaringan perdagangan laut.
Orang Bajo—ada yang menyebut dengan Baju, Bajaw—lahir, tumbuh, bekerja, menikah, hingga meninggal di atas kapal di laut. Mereka menghabiskan 60 persen aktivitas bekerjanya yang rata-rata delapan jam sehari di laut menangkap ikan, teripang, kulit penyu, dan terumbu karang yang dijadikan perhiasan. Baru beberapa tahun terakhir orang Bajo di Indonesia ada yang mulai menetap di permukiman yang dibangun pemerintah.
Hal yang sejak lama menimbulkan kekaguman terhadap masyarakat Bajo adalah kemampuan menyelam hingga kedalaman 70 meter dan bertahan sampai lima menit di dalam air hanya berbekal pemberat agar tidak mengapung ke permukaan dan ”kacamata” kaca berbingkai kayu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG–Seorang anak Bajo Berese di Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, menyelam di laut untuk berburu ikan dengan panah tradisional, Jumat (29/4/2011). Bajo Berese merupakan salah satu komunitas orang Bajo yang telah lama hidup menetap. Sebelumnya mereka adalah pengembara lautan, tetapi mereka tetap mempertahankan tradisi kelautan. Berkat adaptasi pada limpa mereka, orang Bajo jago menyelam.
Kemampuan bertahan begitu lama berada di bawah air tersebut menarik perhatian Melissa A Ilardo, saat ini peserta program pascadoktoral di University of Utah di Salt Lake City, AS. Saat meneliti terumbu karang di Asia Tenggara, dia mendengar cerita tentang masyarakat Bajo.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Warga Bajo mencari ikan di perairan di depan rumahnya di kawasan permukiman masyarakat Bajo di Desa Mola, Wangi-wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/10/2010). Dulu, masyarakat Bajo kerap disebut gipsi laut karena hidupnya yang berpindah-pindah.
Ilardo mengajak kolega-koleganya meneliti masyarakat Bajo. Salah satunya Rasmus Nielsen, ahli genom tentang evolusi dari University of Berkeley, yang mengakui awalnya tidak yakin akan menemukan sesuatu dalam penelitian ini.
Ilardo dan kawan-kawan (dkk) menemukan dalam penelitian mereka, masyarakat Bajo memperlihatkan sistem adaptasi fisiologis dan genetika terhadap kondisi lingkungan yang seluruhnya baru. Limpa mereka berukuran 50 persen lebih besar dibandingkan dengan komunitas Saluan yang hidup dari bertani dan tinggal tidak jauh dari kampung orang Bajo di Sulawesi Tengah.
Ukuran limpa yang lebih besar memberi kemampuan pasokan oksigen darah lebih besar saat limpa berkontraksi. Hasil penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Cell pada 19 April lalu.
Sejumlah penelitian sebelumnya dilakukan pada populasi yang mampu bertahan pada kondisi kekurangan oksigen yang hidup di daerah ketinggian, antara lain Tibet. Penelitian membuktikan adanya gen-gen tertentu yang membuat mereka mampu beradaptasi pada kondisi kekurangan oksigen kronis.
Mamalia, termasuk manusia, memiliki ”respons menyelam” yang dirangsang kondisi tidak bernapas beberapa saat dan ketika wajah berada dalam air dingin. Efek fisiologis respons ini, antara lain, menurunkan konsumsi oksigen, pendistribusian secara selektif aliran darah ke organ-organ paling sensitif pada kondisi kurang oksigen, dan kontraksi otot limpa yang menyuntikkan aliran sel-sel darah merah kaya oksigen ke dalam sistem sirkulasi darah.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Anak-anak berenang di pemukiman masyarakat Bajo di Desa Mola, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/10/2010). Adaptasi genetik pada orang Bajo membuat mereka terkenal jago menyelam.
Hubungan antara kontraksi limpa dan ketahanan lama menyelam pertama kali dihipotesiskan tahun 1990 dalam penelitian terhadap orang Ama di Jepang yang bekerja sebagai penyelam mutiara laut. Penelitian lain terhadap anjing laut menunjukkan hubungan positif antara kemampuan menyelam maksimum dan ukuran limpa, mengindikasikan adanya hubungan antara ukuran limpa dan kemampuan lama menyelam. Tetapi, penelitian terhadap hubungan di antara keduanya belum pernah dilakukan pada tingkat genetika.
Penelitian sebelumnya lebih menekankan pada adaptasi fisiologis yang tampak dari luar. Pengelana laut dari Thailand, misalnya, memperlihatkan kemampuan melihat di dalam air yang sangat baik pada anak-anak. Tetapi, kemudian terbukti kemampuan tersebut lebih merupakan respons atas latihan menyelam berulang kali, terbukti ketika latihan yang sama dilakukan pada kelompok setipe di Eropa.
Adaptasi genetik
Ilardo memakai dua pendekatan untuk memastikan adanya potensi adaptasi genetik pada masyarakat Bajo. Pertama-tama, Ilardo dkk memastikan bahwa secara fisiologis ukuran limpa orang Bajo memang lebih besar dengan membandingkan limpa orang Bajo dan masyarakat Saluan. Secara khusus, ikut dimasukkan dalam analisis adalah jender, umur, berat badan, tinggi tubuh, dan apakah seorang penyelam atau bukan.
Ada 59 orang Bajo dari Desa Jaya Bakti dan 34 orang Saluan desa tepi pantai Koyoan di Sulawesi Tengah, keduanya berjarak 25 kilometer, ikut dalam penelitian. Dari sampel itu, 16 orang Bajo dan satu orang Saluan dikeluarkan dari analisis karena memiliki hubungan dekat secara genetika dan basis komunitas. Komunitas Saluan berdasarkan analisis komponen pokok, menurut Ilardo, secara genetis paling dekat dengan orang Bajo daripada populasi Asia lainnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Anak-anak Bajo bermain di laut, Sabtu (30/10/2010). Adaptasi genetik pada orang Bajo membuat mereka terkenal jago menyelam.
Hasil pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan ukuran limpa orang Bajo 50 persen lebih besar daripada limpa orang Saluan meskipun tidak tampak perbedaan antara orang Bajo yang penyelam dan bukan penyelam. Hal ini menunjukkan, perbedaan itu disebabkan faktor keturunan, bukan karena orang Bajo lebih terlatih menyelam.
Uji genetika menggunakan contoh ludah memastikan bahwa memang orang Bajo memiliki gen yang membuat limpa mereka lebih besar. Salah satu hasil penelitian memperlihatkan, terjadi mutasi pada sebagian genom orang Bajo. Genom tersebut menentukan aktivitas gen pengatur aliran darah untuk disalurkan ke organ vital yang paling membutuhkan oksigen.
Mutasi juga terjadi pada gen yang bertanggung jawab memproduksi enzim anhidrase karbonat yang berguna untuk memperlambat terbentuknya karbon dioksida di aliran darah. Pembentukan karbon dioksida dalam darah umum terjadi pada penyelaman lama dan dalam. Kedua mutasi tersebut berhubungan dengan kontraksi otot di sekitar limpa dan kondisi rendahnya kadar oksigen di darah.
Ilardo menyimpulkan, masyarakat Bajo mengalami proses adaptasi unik yang berhubungan dengan ukuran limpa dan respons terhadap kegiatan menyelam.
Ilardo menyimpulkan, masyarakat Bajo mengalami proses adaptasi unik yang berhubungan dengan ukuran limpa dan respons terhadap kegiatan menyelam. Gen yang diteliti secara khusus adalah PDE10A. Gen ini berhubungan dengan fungsi tiroid dan ukuran limpa.
Temuan tersebut menambah daftar contoh adaptasi genetik penting yang dilalui manusia dalam sejarah evolusi terakhir. Sama seperti adaptasi ekstrem lain yang dialami manusia, antara lain adaptasi terhadap diet setelah manusia mulai memelihara ternak atau berbagai pergeseran lingkungan yang menyediakan pangan, adaptasi genetik pada masyarakat Bajo merupakan konsekuensi dari praktik kebudayaan. Hal ini membuktikan kebudayaan dan biologi berevolusi bersama-sama selama ribuan tahun.
Hasil penelitian ini, menurut Ilardo, mungkin memiliki manfaat nyata secara kedokteran untuk memahami hubungan antara hipoksia, fungsi tiroid, volume sel, dan ukuran limpa. Hipoksia adalah kondisi kekurangan oksigen pada jaringan, dapat disebabkan banyak hal, mulai dari serangan jantung dan stroke hingga hipoksia lokal seperti gangren yang disebabkan diabetes.
Asal-usul orang Bajo
Komunitas masyarakat pengelana laut (sea nomads) bertebaran di pantai-pantai Asia Tenggara. Setidaknya mereka terbagi atas tiga kelompok berdasarkan sejarah, kebudayaan, dan pola bahasa lisan. Ketiga kelompok tersebut adalah masyarakat Moken dan berhubungan dengan orang Moklen di Kepulauan Mergui di Myanmar; orang Suku Laut yang terdiri atas bermacam-macam kelompok, mendiami Kepulauan Riau-Lingga, Batam, dan perairan pantai timur Sumatera, bagian selatan Johor, dan Singapura; serta orang Bajo atau Bajau.
KOMPAS/RIZA FATHONI–Bocah-bocah Bajo bermain perahu di depan rumah panggung keluarga mereka di pesisir Pelabuhan Amolengo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Sabtu (20/2/2016).
Masyarakat Bajo adalah komunitas orang laut terbesar, jumlahnya diperkirakan mencapai 1 juta orang. Meskipun komunitas-komunitas Bajo tinggal berjauhan, mereka tetap memiliki kesamaan sosial dan budaya, termasuk membuat perahu dan menangkap ikan, tradisi, dan mitos.
Dalam pengelanaan laut, mereka membentuk apa yang oleh Pradiptajati Kusuma dan kawan-kawan (European Journal of Human Genetics, 17 Mei 2017) disebut ”kreolisasi maritim” ketika bergaul dengan populasi masyarakat lain. Pada proses ini, masyarakat Bajo tetap mempertahankan budayanya, tetapi berasimilasi dan secara berkala menikah dengan kelompok-kelompok masyarakat lokal.
Di Indonesia, orang Bajo sering dikaitkan dengan pedagang Bugis dari Sulawesi Selatan. Mereka berkelana hingga Papua Niugini dan Australia. Orang Bajo kemungkinan juga ikut membantu penyebaran ke arah Samudra Hindia dan mungkin berperan membangun permukiman orang Indonesia di Madagaskar.
Dari sisi bahasa, orang Bajo berasal dari subfamili tunggal, yaitu subgrup Sama-Bajo di cabang Melayu Barat-Polinesia dari keluarga bahasa Austronesia. Mereka tidak memiliki sejarah tertulis, bergantung pada tradisi lisan, yang tidak banyak menuturkan sejarah mereka.
Asal-usul orang Bajo lebih banyak digantungkan pada cerita rakyat, kajian bahasa, dan catatan pelaut Eropa abad ke-16 yang jumlahnya sangat terbatas. Berdasarkan tradisi lisan, diduga asal-usul orang Bajo dari Johor, bahkan Arab. Tetapi, kisah lain menyebutkan Brunei dan bagian selatan Sulawesi sebagai daerah asal orang Bajo. Kajian bahasa memberi dugaan asal mereka dari Kepulauan Sulu di Filipina dan tenggara Kalimantan.
Karena selama ini perkiraan asal-usul orang Bajo banyak berdasarkan tradisi lisan, budaya, dan bahasa mereka, Kusuma dkk mencari tahu dengan menggunakan pembuktian genetika. Hasil pelacakan genom menunjukkan sejarah genetika yang kompleks pada masyarakat Bajo, melibatkan kreolisasi dan berbagai peristiwa penambahan gen karena percampuran dengan orang lokal.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Perempuan Bajo Mola mencari kerang dan bulu babi di sekitar perkampungan mereka di Wangi-wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, senin (25/9/2017). Bagi orang Bajo, laut telah menjadi ladang mata pencarian kehidupan mereka. Selain dikonsumsi sendiri, kerang dan bulu babi yang didapat juga dijual di pasar.
Meski demikian, hasil pelacakan genom memperlihatkan asal-usul tunggal orang Bajo, yaitu Sulawesi Selatan. Penambahan gen awal diperkirakan terjadi pada abad ke-4 Masehi antara nenek moyang dari Bugis (90 persen) dan Papua (10 persen). Dua komunitas Bajo di Kalimantan yang diteliti, yaitu Bajo Kotabaru dan Bajo Derawan, muncul sekitar abad ke-12. Hal ini memberi dugaan, orang Bajo bermukim di selatan Sulawesi selama 800 tahun sebelum mulai berpencar.
Dalam hal bahasa, asal-usul orang Bajo menunjuk pada bagian tenggara Kalimantan, diikuti penyebaran ke pantai timur Kalimantan pada abad ke-11 dan kemudian menyebar ke selatan Filipina dan timur laut Kalimantan pada abad ke-13 dan ke-14.
Kontradiksi tersebut diperkirakan merupakan akibat meluasnya pengaruh kerajaan Melayu Sriwijaya dari abad ke-7- hingga ke-13 yang sangat memengaruhi struktur dan populasi masyarakat di tenggara Kalimantan, memicu perpindahan besar-besaran, seperti migrasi orang Banjar ke Madagaskar. Pergerakan seperti itu diperkirakan juga menyebabkan masyarakat berbahasa Bajo di tenggara Kalimantan mulai berpencar pada sekitar abad ke-11.
Orang Bajo yang meninggali wilayah geografis sangat luas, dari Kalimantan di barat hingga Papua di timur, dari Sulu di utara hingga Sumba di selatan, berbahasa induk sama, yaitu Sama-Bajau. Mereka memiliki gen yang kaya karena tambahan dari perkawinan dengan berbagai kelompok masyarakat, tetapi di dalam tiap komunitas masing-masing individu memiliki gen seragam.
Bajo Kendari mendapatkan tambahan gen dari orang Papua, Bajo Kotabaru dari orang Banjar, dan Bajo Derawan mendapat tambahan dari orang Filipina dan Malay. Hal ini memperlihatkan pertambahan gen dari populasi yang tinggal berdekatan dengan orang Bajo lebih memberi pengaruh daripada dari kelompok Bajo lain. Sumbangan gen dari populasi lokal ini cukup penting, sejalan dengan proses kreolisasi maritim yang tampak dari bahasa mereka.
Apabila dikaitkan dengan penelitian Ilardo, meskipun terjadi penambahan gen dari pergaulan dengan masyarakat yang ditemui di dalam pengelanaan orang Bajo, gen yang memengaruhi kemampuan menahan napas sehingga memberikan kemampuan menyelam dalam dan lama merupakan gen yang tetap tinggal dan diwariskan turun-temurun. Banyak hal menarik lain menunggu diungkap melalui penelitian lanjutan terhadap genetika masyarakat Bajo.–NINUK MARDIANA PAMBUDY
Sumber: Kompas, 3 Mei 2018