Di era data melimpah atau mahadata (big data) dewasa ini, dalam banyak hal peran ilmuwan sosial tergusur oleh siapa saja yang mampu menganalisis data melimpah untuk keperluan praktis tertentu.
Kecenderungan elektabilitas tokoh atau partai politik menjelang pemilu yang ditimba dari analisis mahadata, misalnya, dewasa ini tengah menjadi kecenderungan. Mahadata sebagai himpunan data (data set) yang luar biasa besar jumlahnya, sedemikian rumit dan tak terstruktur dipakai sebagai basis analisis yang dengan aplikasi rumus algoritma tertentu mampu menghasilkan data baru yang bahkan realtime. Penggunaannya tak sekadar sebatas bidang ekonomi dan bisnis, tetapi juga politik.
Kini masih hangat perbincangan kasus kontroversial yang menyebabkan Mark Zuckerberg dimintai kesaksiannya oleh Kongres Amerika Serikat terkait kebocoran data pengguna Facebook. Data tersebut berikut jutaan data pengguna media sosial lainnya telah dimanfaatkan Cambridge Analytica, perusahaan yang didirikan Steve Bannon, mantan ketua tim strategi Gedung Putih, untuk kampanye Pilpres AS 2016 dalam rangka memenangkan Trump.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai pemilik Facebook, Zuckerberg mengaku tak dapat mengemban tanggung jawabnya dengan baik, melakukan kesalahan besar, dan meminta maaf. Fenomena menghebohkan publik internasional ini segera memicu kesadaran bersama tentang rentannya data pribadi di media sosial untuk disalahgunakan dan perlindungannya.
Fenomena ilmu-ilmu sosial di era mahadata telah menarik perhatian Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam uraian orasinya pada pelantikan pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), di Jakarta, 17 April 2018.
Pratikno mengingatkan ragam konsekuensi baru yang menyertai revolusi industri 4.0, terutama terkait banyaknya jenis pekerjaan yang diambil alih mesin atau perangkat kecerdasan artifisial. Namun, dia melihat ilmuwan sosial tetap memiliki peran penting dalam mempertahankan tradisi berpikir mendalam (deep thinking) dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan guna membangkitkan kreativitas manusia. Mereka berperan membingkai makna, menganalisis mendalam potensi keuntungan dan risiko hal-hal baru, di tengah era mahadata yang berkecenderungan mengondisikan cara berpikir instan, artifisial, serba cepat, praktis, dan pragmatis.
Masalah berpegang pada nilai, digarisbawahi pula oleh Ketua HIPIIS Muhadjir Effendy, bahwa kendatipun arah perkembangan ilmu sosial sangat lekat dengan teknologi, tetapi imajinasi, kreativitas, empati, kemampuan berjejaring, negosiasi dan pengambilan keputusan berdasarkan pertimbangan norma, tetap tak tergantikan (Kompas, 18/4/2018). Penegasan ini mengingatkan bahwa pada hakikatnya ilmu sosial merupakan roh dari segala ilmu karena terdapat dimensi norma dan nilai-nilai kemanusiaan yang dijadikan pegangan.
Berpikir mendalam
Tradisi berpikir mendalam itulah yang membuat ilmuwan sosial tetap penting dan diperlukan, walaupun terkesan terpinggir. Banyak kajian tentang hakikat berpikir mendalam, tetapi yang cukup populer merujuk Gary Kasparov, Deep Thinking: Where Machine Intelligence Ends and Human Creativity Begins (2017).
Buku Kasparov, pemain catur terbesar sepanjang masa yang pensiun pada 2005 ini, mengisahkan pengalamannya kalah tipis dari superkomputer IBM Deep Blue pada 1997. Fenomena manusia melawan mesin itu bagaimanapun mengingatkan bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence) semakin menjadi lawan tanding kecerdasan alamiah manusia yang tak dapat diremehkan.
Revolusi industri 4.0 merefleksikan pengalaman Kasparov itu ke konteks lebih luas. Keberlimpahan data, kecerdasan buatan, dan hal-hal penting lainnya pasca-internet, semakin menantang. Kendatipun demikian, Presiden Joko Widodo dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dalam konteks ini mengingatkan untuk juga melihat sisi peluang. Di ranah ilmu-ilmu sosial merujuk Mensesneg Pratikno, peluangnya mengerucut penguatan tradisi berpikir dan pemberi makna mendalam serta penumbuh kreativitas (human creativity).
Peran ilmuwan sosial
Masalahnya, bagaimana ilmuwan sosial mampu berkonsentrasi mempertahankan tradisi berpikir mendalam dan kreatif, justru di tengah kompleksitas tantangan? Dalam konteks ini, ilmuwan sosial harus tetap berikhtiar berpikir obyektif dan bersikap kritis dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan, terlepas dari posisinya apakah di lingkaran kekuasaan atau tidak.
Sebagai ilmuwan sosial yang tersohor pada masanya, Soedjatmoko pernah mengingatkan pentingnya ”dimensi manusia” dalam pembangunan. Ini artinya, ilmuwan sosial harus tetap berdiri di barisan paling depan sebagai juru ingat, agar proses-proses pembangunan tidak melupakan ”dimensi manusia”.
Ilmuwan sosial harus tetap bekerja berbasis riset disertai kemampuan reflektif yang bertumpu nilai-nilai kemanusiaan. Ilmuwan sosial tetap menjadikan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset akademis sebagai basis pengembangan keilmuan. Ilmuwan sosial bukan entitas bebas nilai. Mereka bekerja dalam bingkai nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban.
Mereka punya tanggung jawab sosial dan kemanusiaan kendatipun tetap bekerja secara obyektif dan akademis. Kontribusi pemikirannya sangat diperlukan dalam merespons masalah-masalah bangsa yang beragam, dari soal demokrasi hingga masa depan integrasi bangsa. Ilmuwan sosial dapat mengedepankan pendekatan optimistis dalam memaknai pembangunan di tengah ragam realitas obyektif permasalahan bangsa.
Peran ilmuwan sosial membentang dari pemikiran dan perencanaan pembangunan, pembingkai makna berbagai fenomena sosial kebangsaan, hingga sikap kritis dalam mengingatkan peran dan tanggung jawab kelembagaan negara dan politik dalam tradisi demokrasi. Ilmuwan sosial juga jembatan perkembangan teknologi dan realitas sosial ke dalam pertimbangan cermat dan mendalam dalam proses pengambilan kebijakan, pun pemberi alternatif solusi masalah krusial kebangsaan dan perawat akal sehat kolektif. Yang terakhir ini penting tatkala dinamika komunikasi media sosial sarat dengan propaganda kebohongan (hoaks).
M Alfan Alfian Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Pengurus Pusat HIPIIS
Sumber: Kompas, 30 April 2018