Kepolisian Daerah Banten akan memanggil peneliti tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Widjo Kongko untuk meminta klarifikasi atas kajiannya tentang potensi tsunami di selatan Jawa Barat.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Banten Komisaris Besar Abdul Karim di Serang, Banten, Minggu (8/4/2018), mengatakan, selain Widjo, surat panggilan akan dikirimkan ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sebab, institusi itu jadi penyelenggara diskusi yang menghadirkan Widjo Kongko sebagai pembicara.
Surat itu rencananya dikirimkan Senin ini. Mereka diminta datang ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Banten, Rabu nanti. Pihaknya akan minta klarifikasi dari Widjo. “Kami akan memanggil beberapa akademisi dan membandingkan dengan penjelasan Widjo,” kata Karim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada diskusi di BMKG, 3 April lalu, Widjo Kongko memaparkan potensi ketinggian tsunami di sejumlah daerah. Kajian dari pemodelan komputer dengan skenario gempa dari yang terkecil sampai yang terburuk berupa potensi tsunami hingga mencapai 57 meter di Pandeglang, Banten.
Salah memahami
Namun media menyebutnya prediksi sehingga seolah-olah segera terjadi. Widjo Kongko keberatan atas berita di media daring yang salah memahami paparannya dan mendramatisasinya sehingga memicu kepanikan publik. Untuk itu, kini ia menyiapkan hak jawab dan keberatan. “Saya menyampaikan kajian di forum ilmiah untuk membangun kesiapsiagaan, bukan untuk memicu kepanikan masyarakat,” kata dia.
Rencana polisi memeriksa Widjo Kongko terkait dengan kajiannya tentang potensi tsunami di selatan Jawa Barat, dinilai mengancam kebebasan akademik. Apalagi, kajian yang dipaparkan dalam forum ilmiah itu dilakukan dalam rangka membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman bencana.
–Para pengunjung mencoba alat peraga simulasi gempa bumi yang terpasang di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu yang lalu.
“Pemaparan pemodelan tsunami oleh Widjo Kongko dijamin kebebasan mimbar akademik. Kelompok peneliti LIPI dan dari perguruan tinggi pernah membuat kajian pemodelan tsunami. Ini penting karena Indonesia rawan bencana, termasuk tsunami,” kata Henny Warsilah, Guru Besar Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Tim Pengarah Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana.
Hasil riset yang didukung data-data akurat tak bisa dianggap sebagai perkara kriminal dan polisi tak bisa memeriksa penelitinya. “Ini bukan ranah polisi, kebebasan mimbar akademik harus dikedepankan. Jika cara penyampaiannya salah, ada sidang kode etik peneliti, bukan di kantor polisi. Jika polisi memeriksa peneliti karena hasil risetnya, ini sama dengan pelecehan profesi peneliti dan ancaman terhadap dunia akademis,” ujarnya.
Ini bukan ranah polisi, kebebasan mimbar akademik harus dikedepankan. Jika cara penyampaiannya salah, ada sidang kode etik peneliti, bukan di kantor polisi.
Henny khawatir masa depan dunia riset akan suram jika diganggu aparat keamanan. “Negara maju jika riset ilmiahnya berkembang dan akan terpuruk jika penelitiannya dikekang. Kondisi terakhir melahirkan generasi non ilmiah dan penyuka klenik,” kata dia.
Ahli gempa dari LIPI Danny Hilman Natawijaya, yang juga pembicara forum di BMKG itu mengatakan, “Tak ada yang salah dengan yang disampaikan di diskusi BMKG. Informasi ke publik itu urusan tuan rumah (BMKG) dan media,” ucapnya.
Kerentanan gempa dan tsunami di selatan Jawa Barat dan Banten berulang kali disampaikan para ahli. “Tahun 2014 saya sudah menyampaikan hal ini di Setneg (Sekretariat Negara) yang dihadiri Wakil Gubernur Banten saat itu, Rano Karno, dan tanggapannya positif,” kata Danny.
“Bahkan, saat itu saya sampaikan potensi gempanya bisa mencapai M 9,5, lebih tinggi dari dasar pemodelan yang dipakai Widjo M 9. Artinya potensi tsunaminya bisa lebih tinggi dari yang dihitung Widjo. Kemarin juga saya sampaikan dalam diskusi itu,” ungkapnya.
Menurut Danny, studi dan mitigasi bencana merupakan urusan instansi terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, LIPI, perguruan tinggi, dan para profesional kebencanaan. “Ini bukan wilayah kriminal di kepolisian. Menurut hemat saya, Polda Banten bertindak kelewat jika sampai mau periksa peneliti yang menyampaikan hasil kajian di forum ilmiah,” kata dia.
Sementara peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Rahma Hanifa menilai, tak ada yang salah dari pemodelan Widjo Kongko. “Pemodelan merupakan hal biasa dalam kajian gempa dan tsunami dan bencana lain. Pemodelan yang dilakukan bisa berupa pemodelan kejadian yang terjadi serta pemodelan potensi di masa depan,” ujarnya.
Pemodelan merupakan hal biasa dalam kajian gempa dan tsunami dan bencana lain
Perekayasan teknologi kebencanaan BPPT Udrekh mengatakan, sebagai ilmuwan, apa yang dilakukan Widjo juga umum dilakukan di seluruh dunia dan di berbagai bidang keilmuan. “Bagaimana sebuah model dibangun berdasarkan data yang dimiliki, asumsi, dan dasar teori, merupakan pendekatan ilmiah yang dilakukan di seluruh dunia dan menghasilkan banyak jurnal ilmiah terakreditasi. Tentu dunia ilmiah memahami kelemahan dari pendekatan dengan menggunakan pemodelan,” kata dia.
Media Berperan
Peneliti komunikasi kebencanaan yang juga anggota Science and Technology Advisory Group (STAG) United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR) Irina Rafliana menilai, polemik saat ini tidak terlepas dari peran media yang cenderung mendramatisasi kajian ilmiah. “Media memiliki tanggung jawab untuk memastikan informasi ilmiah yang diteruskan pada masyarakat memberi pemahaman untuk membangun kesiapsiagaan, bukan sebaliknya,” kata dia.
Dalam sains dan teknologi kebencanaan, menurut Irina, ilmuwan tidak berbicara dalam konteks mutlak kebenarannya. Ada keterbatasan dalam metodenya, yang sebenarnya sudah disampaikan Widjo dalam presentasinya. “Namun demi berita dramatis, media mengabaikannya. Lebih buruk lagi, berita mengenai polemik potensi tsunami ini semakin berkembang ke arah yang sangat mengkhawatirkan hingga pada kriminalisasi ilmuwan,” ucapnya.
Sumber: Kompas, 9 April 2018