Guru dan orangtua acap kali terjebak paradigma memilah dan mengelompokkan anak berdasarkan hasil tes kognitif. Hal ini berisiko menghambat perkembangan anak berdasarkan potensi yang mereka miliki. Hendaknya tes kognitif digunakan untuk mendongkrak kemampuan siswa, bukan menghakimi mereka.
”Pertanyaan yang mestinya diajukan orangtua dan guru ialah ’anak ini memiliki kecerdasan di bidang apa saja?’, bukan ’cerdaskah anak ini?’ Setiap anak memiliki keunikan masing-masing yang harus dikembangkan,” kata Kevin McGrew, Direktur Institute for Applied Psychometric?s di Amerika Serikat, pada peluncuran alat tes kognitif AJT Cognitive Test Battery di Jakarta, Jumat (6/4/2018).
Alat tes tersebut dikembangkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan PT Melintas Cakrawala Indonesia (MCI) dengan McGrew sebagai konsultan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur MCI Abi ?Jabar menjelaskan, tes kognitif AJT bukan untuk mengukur tinggi IQ siswa, melainkan untuk memetakan kemampuan siswa berdasarkan delapan elemen teori Cattell-Horn-Carroll, yaitu pemahaman, penalaran, pengetahuan kuantitatif, kemampuan membaca dan menulis, ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang, mencerna informasi secara visual, serta mencerna informasi secara audio. ”Setiap anak punya kelebihan dan kekurangan di faktor-faktor tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, tes ini juga tidak membatasi bakat dan minat siswa. Misalnya, siswa yang pandai secara visual hanya diarahkan kepada keterampilan di bidang seni rupa. Metode tersebut justru membatasi ruang tumbuh kembang siswa. ”Justru siswa harus dipaparkan ke berbagai jenis pengetahuan agar mereka bisa memperluas wawasan. Hasil tes berguna sebagai panduan memanfaatkan potensi yang dimiliki siswa untuk menguasai pengetahuan baru itu,” ujar Abi.
Sejumlah siswa belajar di sebuah laboratorium bioteknologi. Setiap anak memiliki minat dan potensi kecerdasan masing-masing.
Hal ini berbeda dengan tes kognitif yang mengelompokkan kecerdasan siswa berdasarkan poin IQ. Akibatnya, siswa dengan IQ di bawah 100 sering kali dianggap kurang pandai. Padahal, jika dicermati, sang siswa memiliki kecerdasan di bidang-bidang tertentu yang mungkin tidak diolah dengan baik.
Menurut McGrew, dari keunggulan seorang siswa di satu bidang pelajaran tertentu bisa diungkap faktor penentu prestasi tersebut. ?Misalnya, siswa memiliki motivasi yang kuat di pelajaran itu.
”Dengan demikian, guru bisa mengarahkan siswa menerapkan motivasi yang sama ke pelajaran lain,” ujarnya.
Budaya Indonesia
Psikolog pendidikan dan psikometri UGM, Retno Suhapti, yang turut merancang AJT CogTest mengatakan, tes dibuat berdasarkan budaya Indonesia. Selama ini, tes kognitif yang ada disadur dari negara-negara lain. Terdapat variabel soal yang tidak? ada dalam budaya dan lingkungan Indonesia sehingga membingungkan siswa.
”Contohnya, pertanyaan tentang salju. Siswa dari negara tropis sukar memahaminya, akibatnya nilai akhir tes rendah?. Padahal, bukan siswa yang tidak pandai, melainkan soalnya yang tidak sensitif pada budaya Indonesia,” kata Retno.
Ia menjabarkan, tes ini diperuntukkan bagi siswa berusia 5-18 tahun. Baik siswa reguler maupun berkebutuhan khusus bisa dipetakan kemampuan dan potensinya. ?Tes tersebut dibuat berdasarkan penelitian di 46 kabupaten/kota di Pulau Jawa? dan menggunakan 10 sekolah di Jabodetabek sebagai proyek percontohan.
Tes ini dilakukan 1-3 tahun sekali untuk memantau perkembangan siswa. Jika perkembangan tak berjalan sesuai target, tes bisa dilakukan lagi untuk melihat titik-titik permasalahan agar segera bisa diintervensi. (DNE)
Sumber: LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas,7 April 2018