Proses sertifikasi halal untuk produk kosmetik lebih rumit karena mengandung bahan baku yang lebih banyak dibandingkan produk makanan atau minuman. Karena itu, penggolongan bahan baku yang dianggap positif halal diperlukan agar mempermudah proses sertifikasi tersebut.
Ketua Bidang Audit Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mulyorini Hilwan mengatakan, bahan baku untuk sebuah produk kosmetik antara 30 hingga 100 jenis.
Proses sertifikasi pun bisa memakan waktu hampir dua bulan. Hal itu disebabkan ada beberapa daftar bahan baku yang didaftarkan, tetapi belum terdaftar dalam kategori positif atau halal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami perlu bekerja sama dengan asosiasi perusahaan kosmetik untuk menyusun database berisi daftar positif. Sehingga, ketika proses sertifikasi, kalau bahan itu sudah masuk daftar positif, kami tidak perlu meminta dokumen. Kami akan fokus pada bahan lain yang memang kritis, di luar daftar positif. Itu akan mempercepat proses sertifikasi,” ujar Mulyorini dalam seminar “Sertifikasi Halal Bahan Baku Kosmetika” yang digelar pada Indonesia Cosmetic Ingredients (ICI) 2018 di Jakarta Internasional Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (4/4/2018).
NIKOLAUS HARBOWO–Ketua Bidang Audit Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Mulyorini Hilwan (kanan) dalam seminar “Sertifikasi Halal Bahan Baku Kosmetika” yang digelar pada Indonesia Cosmetic Ingredients (ICI) 2018 di Jakarta Internasional Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (4/4/2018).
Berdasarkan data LPPOM MUI, pada 2016 terdapat 48 perusahaan dengan total 5.254 produk kosmetik halal. Pada 2017, sebanyak 64 perusahaan dengan total 3.219 produk halal. Hingga Maret 2018, tercatat 41 perusahaan dengan total 2.115 produk bersertifikat halal.
Pembinaan
Mulyorini menuturkan, hampir semua perusahaan kosmetik tidak pernah gagal mendaftarkan produknya untuk sertifikasi halal. Apabila dalam hasil audit ditemukan bahan kritis, LPPOM MUI akan memberikan tenggang waktu selama enam bulan kepada perusahaan untuk mengganti bahan baku.
“Kami biasanya lakukan pembinaan kepada perusahaan dan menyarankan untuk mengganti bahan baku yang sudah jelas status halalnya,” ucap Mulyorini.
Selama ini, tambah Mulyorini, permasalahan yang ditemukan adalah perusahaan kerap hanya memberikan lembar data keamanan bahan (Material Safety Data Sheet/ MSDS). Padahal, dokumen tersebut tidak bisa menjadi acuan bahwa barang itu sudah halal.
“MSDS belum cukup untuk memperlihatkan sumbernya terutama kalau bahan itu tidak hanya berasal dari bahan sintetik kimia. Dan itu kerap dikasih kepada LPPOM yang kadang kala belum cukup untuk menyertifikasi halal,” ujarnya.
Sosialisasi
Manajer Operasional PT Dani Bungabadi, Papendrio Valiantiano mengaku, produk kosmetik yang diproduksi di perusahaannya belum bersertifikat halal. Ia belum pernah mendapatkan sosialisasi terkait prosedur sertifikasi tersebut.
“Saya harap sosialisasi ini harus lebih sering, terutama untuk perusahaan-perusahaan baru,” ujar Papendrio.
Apalagi, Papendrio juga merasa kaget bahwa seluruh bahan baku yang ada di produknya harus positif halal. “Produk kami impor. Jadi pasti perlu waktu yang banyak untuk sertifikat semua produknya,” ujarnya.
Analis Jaminan Kualitas PT Malidas Sterilindo, Dewi Alletasari Harta, mengatakan, proses sertifikasi halal tidak hanya pada produk tetapi juga alat produksi. Ia menuturkan, perusahaannya butuh waktu sekitar empat bulan untuk proses sertifikasi sebuah alat produksi.
“Harus dipastikan proses untuk memproduksi barang itu harus halal. Alat, tempat, mobil transportasi. Jadi kami yang memastikan kalau produk yang diproduksi di kita itu halal secara proses,” tutur Dewi.–DD18
Sumber: Kompas, 5 April 2018