”Bukanlah alam semesta jika ia tak menjadi rumah bagi orang-orang yang Anda cintai.” (Terjemahan bebas ucapan Stephen Hawking seperti dikutip dari pernyataan keluarga saat mengumumkan wafatnya sang ilmuwan, ABC7news, KGA, 14 Maret 2018)
Mengetahui rahasia— dan hukum-hukum— alam tampaknya memang ikhtiar besar dan membutuhkan pikiran cerdas cemerlang seperti Galileo Galilei, yang dengan teropongnya bisa melihat kawah-kawah Bulan dan juga empat bulan Planet Jupiter. Lalu ada Isaac Newton yang menemukan hukum gravitasi (IS Glass, Revolutionaries of the Cosmos). Melompat ke abad ke-20, dunia ilmu pengetahuan, khususnya fisika, menyaksikan kegeniusan Albert Einstein, yang melahirkan Teori Relativitas (Khusus, 1905 dan Umum, 1916).
Setelah itu juga ada sosok besar yang bekerja di jagat fisika kuantum, seperti Erwin Schrodinger dan Werner Heisenberg, juga John Wheeler di bidang kosmologi. Namun, setidaknya dalam kurun 50 tahun terakhir ini, ada satu nama yang menjadi buah bibir di dunia sains, terutama dalam fisika (teoretis) dan kosmologi. Dan, bintang yang bersinar paling terang adalah Stephen William Hawking, yang wafat Rabu (14/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepergian Hawking mengingatkan orang pada kiprah dan karya almarhum dalam bidang ilmu pengetahuan. Fisika teoretik dan kosmologi memang ranah yang tinggi dalam sains. Beroperasi dengan dukungan matematika yang luar biasa rumit, Hawking—sebagaimana dulu Newton dan Einstein— berhasil menguak sisi-sisi paling pelik alam semesta.
Salah satu misteri yang termasuk fenomenal dalam jagat fisika dan kosmologi—ini ilmu tentang asal-usul dan masa depan alam semesta—adalah lubang hitam (black hole), yang didefinisikan sebagai satu wilayah ruang-waktu, yang karena gaya gravitasinya mahakuat membuat tidak ada satu materi apa pun, termasuk cahaya, yang bisa lepas darinya sehingga ia terputus (cut off) dari wilayah alam semesta yang lain.
Ide mengenai lubang hitam sudah menarik perhatian Hawking yang—bersama sejawatnya, Roger Penrose di Universitas Cambridge—lalu meneliti lebih dalam. Di pengujung 1960-an, kedua ilmuwan memperlihatkan jika Teori Relativitas Umum Einstein benar, keruntuhan (kolaps) gravitasi akan melahirkan ”singularitas” yang tersembunyi dalam lubang hitam.
Pada 1973, Hawking mengubah teori tentang lubang hitam ketika ia menemukan, sejumlah lubang hitam ternyata tidak sepenuhnya hitam karena ada partikel yang bisa lolos dari medan gravitasinya. Ada energi yang bisa lepas dengan deras dari gravitasi yang mencekam dengan mahakuat. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Radiasi Hawking (The Universe, A Biography, John Gribbin).
Pekerjaan Hawking tidak hanya menghangatkan wacana tentang lubang hitam, tetapi lebih jauh ia menghidupkan kembali salah satu impian lama ilmu pengetahuan, yakni adanya sebuah teori tunggal yang menautkan semua hukum fisika dalam teori medan gabungan yang pernah diimpikan Einstein, tetapi ia tidak berhasil menemukannya. Karya Hawking menyarankan adanya kesatuan tiga area fisika yang diduga terpisah sama sekali, yakni gravitasi, kuantum, dan termodinamika.
Desain besar
Hawking, yang diakui sebagai fisikawan paling brilian setelah Einstein, juga dikenal sebagai sosok yang humanis dengan selera humor. Orang tak lupa bahwa ia juga penulis buku ilmiah populer yang legendaris.
Dengan keterbatasan yang ada, ia menjadi duta ilmu pengetahuan, berceramah ke berbagai penjuru dunia, dan menjawab berbagai pertanyaan mengenai perjalanan menembus waktu hingga kehidupan di luar Bumi.
Untuk yang terakhir ini, Hawking menyinggung masa depan umat manusia. Jika meminjam tesis mendiang Alvin Toffler tentang gelombang peradaban, Gelombang Keempat (setelah pertanian, industri, dan informasi), yang logis adalah koloni angkasa. Ini mengingat kehidupan di Bumi semakin tak sanggup menanggung efek pemanasan global dan perubahan iklim.
Implisit sebenarnya pernyataan di atas terkandung dalam sederet pertanyaan yang ia kemukakan dalam bukunya yang terbit tahun 2010, The Grand Design (yang ia tulis bersama Leonard Mlodinow). Selain bertanya tentang ”kapan dan bagaimana alam semesta mulai”, ia juga bertanya ”mengapa kita ada?”, dan mengapa ”hukum-hukum alam tertata demikian bagus sehingga memungkinkan eksistensi seperti kita”.
Lalu ”desain agung” yang nyata di alam semesta ini apakah merupakan bukti adanya satu pencipta yang penuh dengan niat baik? Ataukah sains bisa menawarkan penjelasan lain?
Penuh makna
Hawking telah meninggalkan kita, tetapi warisannya tinggal. Jika ia meyakini tidak ada keajaiban di alam semesta karena semua diatur oleh hukum yang teratur, justru untuk hidupnya terjadi keajaiban. Ia yang hanya diramalkan akan bertahan dua tahun setelah terserang penyakit ALS (amyotropic lateral sclerosis), penyakit saraf motorik degeneratif yang membuat motoriknya sirna, saat usia 21 tahun, ia lolos dari ramalan itu hingga lebih dari 50 tahun kemudian.
Hawking memang sempat hidup dalam sorotan publisitas, tetapi jati dirinya adalah fisikawan sejati. Saat duduk di kursi rodanya, ia berpikir keras. Di otaknya hidup persamaan matematika rumit yang ia diktekan kepada sekretaris atau sejawatnya. Persamaan itu bak nada-nada simfoni yang hidup di kepala Mozart atau Beethoven.
Persamaan Bekenstein-Hawking, menurut Stuart Clark dari New Scientist, adalah satu hal yang dipesankan Hawking untuk diukir dalam batu nisannya. (Jacob Bekenstein adalah murid fisikawan John Wheeler yang menjadi mitra Hawking saat memecahkan masalah yang mengaitkan lubang hitam dan hukum kedua termodinamika.)
Jika masalah lubang hitam dan fisika teori terlalu canggih bagi awam, mendiang Hawking, baik dari buku ilmiah populernya maupun kehidupannya yang kaya warna, adalah sosok pribadi yang membuat banyak orang terkenang. Hawking, seperti dikenang aktor Eddie Redmayne, menggabungkan ”pikiran indah, ilmuwan memesona, dan manusia terlucu yang pernah ia temui”.
Ketika Bumi dan manusia tengah dikepung oleh pelbagai problem urgen, warisan Stephen Hawking yang kita kenang selain sumbangan pemikirannya tentang kosmos juga visinya tentang masa depan umat manusia.
Satu hal yang mestinya menggugah generasi muda Indonesia membaca berita tentang wafatnya ilmuwan agung Stephen Hawking adalah semangat mencintai dan menggeluti sains, pesan yang relevan justru ketika banyak pernyataan bahwa minat orang muda Indonesia terhadap sains terus menyusut.–NINOK LEKSONO
Sumber: Kompas, 16 Maret 2018