Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dalam perkuliahan kini tidak sebatas menyebarluaskan modul perkuliahan di dalam fakultas, tetapi sudah meluas ke dalam akses modul perkuliahan antaruniversitas di Indonesia dan luar negeri.
Hal tersebut dikatakan Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad dalam acara Learning Innovation Summit di Jakarta, Rabu (14/3). Kemenristek dan Dikti sudah memiliki sistem pembelajaran dalam jaringan (Spada) yang berisi berbagai materi perkuliahan dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.
”Spada terhubung dengan Jaringan Riset Indonesia (IdREN) yang terhubung dengan jaringan riset di Australia, Eropa, Asia, dan Amerika,” ujar Intan. Di Indonesia saat ini ada 51 perguruan tinggi yang aktif menjadi pembuat modul, antara lain Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Malang, dan Universitas Negeri Surabaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Prosedurnya adalah program studi di satu perguruan tinggi membuat modul perkuliahan yang kemudian dinilai kelayakannya oleh Tim Spada Kemenristek dan Dikti. Apabila lolos penilaian, modul diunggah ke jaringan Spada dan IdRen sehingga bisa diakses oleh mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia dan mancanegara.
Dekati ilmu
Intan mengatakan, prinsip di balik Spada adalah perkuliahan yang berpusat pada mahasiswa masih merupakan tantangan di Indonesia akibat rasio dosen dengan mahasiswa 1 : 40. Berbeda dengan negara-negara maju yang rasio dosen dengan mahasiswanya sudah 1 : 10.
”Untuk mengangkat dosen butuh biaya yang mahal. Selain itu, jumlah dosen yang bermutu terbatas,” ucapnya.
–Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Intan Ahmad memberi pemaparan soal sistem pembelajaran dalam jaringan pada Learning Innovation Summit di Jakarta, Rabu (14/3).
Melalui Spada, dosen-dosen bisa mengunggah modul perkuliahan, dengan syarat memenuhi standar Spada. Mahasiswa menikmati manfaat bisa mengikuti perkuliahan dosen-dosen bermutu tanpa perlu meninggalkan kampus masing-masing.
”Di era disrupsi, teknologi merupakan jalan keluar pengembangan inovasi untuk peningkatan mutu. Dulu, mahasiswa harus kuliah ke luar negeri untuk mendapat pendidikan yang bermutu. Sekarang, mereka bisa mengaksesnya di Tanah Air tanpa kehilangan perkembangan yang terjadi di rumah sendiri karena ilmu yang mendatangi mereka,” kata Intan.
Hal serupa dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui program Edmodo yang berada di bawah Seameo (Sekretariat Organisasi Menteri-menteri Pendidikan Asia Tenggara). Sekretaris Jenderal Kemendikbud Didik Suhardi mengatakan, melalui jaringan tersebut bahan-bahan ajar bisa diunggah dan diunduh oleh guru-guru.
Associate Director European Foundation for Management Development Martin Moehrle menjelaskan, perkembangan teknologi yang membawa otomasi di hampir semua bidang akan semakin membutuhkan kemampuan lunak manusia.
”Kita bertransformasi dari era produksi yang mengandalkan tangan ke era teknologi yang mengandalkan otak. Kini kita memasuki era yang mengandalkan hati,” kata Moehrle.
Kemampuan hati yang ia maksud adalah kemampuan manusia untuk berinovasi dan mengembangkan kreativitas sekaligus saling berempati, memotivasi, dan menghargai. Untuk itu, dibutuhkan pendidikan di segala jenjang yang membangun karakter positif, di samping menajamkan pengetahuan dan keterampilan.
”Karakter manusia memberi makna pada perkembangan teknologi. Ini tidak akan tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun,” ujarnya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 15 Maret 2018