Hasil riset kelompok masyarakat sipil tak merekomendasikan program reforma agraria dan perhutanan sosial di Papua dan Papua Barat. Reforma agraria dalam pengertian redistribusi tanah hanya cocok dijalankan dalam masyarakat pertanian menetap.
Saat ini, masyarakat pertanian menetap belum dominan di Papua. Masyarakat asli Papua didominasi masyarakat berburu dan meramu.
”Jadi, tak ada kebutuhan sosial di masyarakat asli Papua yang didominasi relasi produksi berburu dan meramu untuk ikut percobaan reforma agraria dan perhutanan sosial ala (Presiden) Joko Widodo,” kata Erpan Faryadi, pelaksana riset di Jayapura dan Keerom, dalam diseminasi Hasil Studi tentang Kebijakan dan Potensi Dampak Program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Tanah Papua dan Sulawesi Tengah, Kamis (8/3), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riset di Merauke (oleh Laksmi A Savitri) serta di Sorong, Sorong Selatan, dan Raja Ampat (oleh Eko Cahyono dan Ahmad Hamdani), bagi Yayasan Pusaka, menyimpulkan hal serupa. Savitri mengatakan, reforma agraria di kawasan kehutanan secara program bermasalah saat dijalankan di Papua.
Skema alokasi tanah obyek reforma agraria kehutanan diasumsikan alokasi 20 persen tanah yang dilepaskan bagi perkebunan rakyat berjalan dalam logika distribusi. Hal itu mengesampingkan sistem tenurial tanah adat di Papua.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO–Pemandangan hijaunya hutan terlihat jelas dari pesawat dari Asmat menuju Timika, Papua, Senin (22/1/2018).
”Tanah konsesi perkebunan di atas tanah adat sesungguhnya sudah terbagi rata kepemilikannya (oleh masyarakat adat Papua) sehingga tak bisa dilakukan zonasi plasma hanya berdasarkan pertimbangan penggunaan tanah tanpa memperhatikan tata kepemilikan/penguasaannya,” kata Laksmi A Savitri yang juga antropolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pengakuan wilayah adat
Karena itu, untuk di Papua, pemerintah disarankan agar fokus pada pengakuan wilayah adat. Sebab, Papua memiliki UU Otonomi Khusus serta berbagai peraturan daerah khusus, tetapi minim pengakuan dari negara (Kompas, 6 Februari 2018).
Darsini, perwakilan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, menyatakan, riset ini jadi masukan bagi pemerintah. Ia mengakui, realisasi target reforma agraria di Papua tak menggembirakan. Kondisi antropologis di Papua diduga tak cocok dengan program ini.
Hingga kini belum ada hutan adat yang ditetapkan pemerintah. Untuk mempercepatnya, pemerintah akan menggelar rapat koordinasi nasional pada April 2018.
Status pengakuan hutan adat oleh pemerintah pun masih jadi pro dan kontra di kalangan aktivis dan akademisi karena hutan adat dimasukkan program perhutanan sosial. Sebab, masyarakat adat tak bisa mengubah fungsi area hutan. ”Jadi, buat apa ditetapkan kalau tak bisa ubah fungsi,” kata Ferry Rangi, peneliti Yayasan Pusaka untuk wilayah Sulawesi Tengah.
Emil Ola Kleden, pakar kerangka pengaman sosial, memaparkan, soal tenurial di Papua banyak terjadi karena ketidakmampuan menangkap antropologi dan sosial orang asli Papua. Banyak orang menganggap ondoafi (kepala suku) di Jayapura sebagai penguasa tanah adat.
”Ondoafi itu mengatur otoritas dan bukan kepemilikan lahan,” ujarnya. Padahal, tanah adat ialah tanah komunal yang penggunaannya ditentukan oleh persetujuan baik masyarakat adat maupun keluarga atau marga.
Namun, di banyak kasus pelepasan tanah adat, perusahaan ataupun pemerintah hanya minta persetujuan dari kepala suku. Ini menunjukkan, cara pandang feodal salah kaprah dalam memahami sistem kepemilikan lahan pada orang Papua asli.
Pemerintah perlu melindungi otoritas di masyarakat asli Papua. ”Negara jangan melulu sebagai pemegang kuasa alias penguasa, tapi jalankan fungsi sebagai otoritas,” katanya.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 9 Maret 2018