Huawei dan Telkomsel meluncurkan CloudAIR 2.0, yang memungkinkan efisiensi penggunaan spektrum frekuensi. CloudAIR mengalokasikan spektrum berdasarkan perubahan ”traffic”.
Seperti biasa, Mobile World Congress (MWC) yang digelar di Barcelona, Spanyol, 26 Februari-1 Maret 2018, menjadi ajang bagi pemain besar bisnis telekomunikasi digital memamerkan inovasi dan perkembangan teknologinya. Tiga tahun terakhir, MWC selalu menampilkan perkembangan aplikasi teknologi jaringan generasi kelima atau yang dikenal sebagai 5G.
KOMPAS/KHAERUDIN–Pengunjung dari sejumlah negara memadati lobi hal Fira Gran Via, Barcelona, Spanyol, tempat perhelatan Mobile World Congress, ajang tahunan ekshibisi terbesar di dunia dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sela ingar-bingar penerapan teknologi 5G yang dipamerkan pada MWC 2018 dalam bentuk artificial intelligence, mobil pintar swakemudi, hingga internet untuk semua kebutuhan hidup (internet of things alias IoT), perusahaan global di bidang teknologi informasi dan komunikasi asal China, Huawei, dan operator telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel, meluncurkan apa yang mereka sebut sebagai hasil inovasi bersama dalam teknologi efisiensi penggunaan sumber daya jaringan.
Teknologi yang oleh Huawei disebut CloudAIR 2.0 itu diluncurkan pertama kali di dunia dan secara komersial dipakai Telkomsel. ”Peluncuran dan pemakaian teknologi CloudAIR 2.0 secara komersial oleh Telkomsel ini memang yang pertama kali di dunia,” ujar President of Huawei Wireless Edward Deng di ajang MWC 2018, Barcelona.
Vice President Technology and System Telkomsel Indra Mardiatna menuturkan, pada dasarnya, CloudAIR 2.0 adalah teknologi untuk memanfaatkan spektrum yang ada, kemudian memaksimalkan efisiensi spektrum.
KOMPAS/KHAERUDIN–Perusahaan global di bidang teknologi informasi dan komunikasi asal China, Huawei, memamerkan desain fitur teknologi jaringan telekomunikasi hasil inovasi bersama dengan operator asal Indonesia, Telkomsel, CloudAIR 2.0, pada ajang Mobile World Congress 2018 di Barcelona, Spanyol, 26 Februari-1 Maret
”Misalnya kami di 1.800 MHz, ada 22,5 mega untuk LTE (long term evolution) dan 2G karena 2G masih ada dan banyak. Kami saat ini hanya bisa menggunakan 15 mega untuk LTE dengan enhancement (peningkatan) sampai 17 mega. Sebenarnya kita bisa tingkatkan LTE sampai 20 mega, tetapi kita enggak bisa menentukan kalau 2G-nya tinggi. Dengan adanya spectrum cloudification, kita bisa secara dinamis akan menyeimbangkan. Kalau 2G-nya kosong, spektrum untuk LTE bisa nambah, misalnya sampai 20 mega,” tutur Indra.
LTE merupakan standar komunikasi nirkabel kecepatan tinggi. Meski kecepatan LTE masih di bawah teknologi jaringan generasi keempat atau 4G, perkembangan yang dilakukan memungkinkan LTE mendekati kecepatan minimum 4G sehingga sering kali dipasarkan dalam sebutan 4G LTE. Setidaknya LTE masih lebih cepat daripada 3G atau teknologi nirkabel generasi ketiga yang biasa menjadi basis penggunaan telepon pintar.
Perkembangan teknologi jaringan nirkabel yang sekarang memasuki era 5G ternyata belum sepenuhnya menghilangkan pengguna 2G atau mereka yang hanya menggunakan ponsel untuk telepon dan mengirim pesan singkat. Director of Network Telkomsel Bob Apriawan mengakui, pengguna 2G masih banyak dan mereka juga membutuhkan spektrum yang mencukupi. Sementara, lanjut Bob, peningkatan teknologi jaringan nirkabel hingga 4G memungkinkan lonjakan jumlah pelanggan Telkomsel yang mengakses layanan data.
Solusi kepadatan
Spektrum yang dipakai untuk pelanggan 2G dengan mereka yang mengakses layanan berkecepatan tinggi hingga layanan data di jaringan LTE atau 4G berbeda. Sebelum pemakaian teknologi CloudAIR 2.0, saat spektrum untuk pengguna LTE padat sementara spektrum 2G sedang lowong, pengguna LTE tak bisa bermigrasi ke spektrum 2G.
Dengan CloudAIR 2.0, saat spektrum LTE sedang padat dan spektrum 2G kosong, pengguna bisa dimigrasikan ke spektrum yang kosong itu. ”Kami memastikan pelanggan dapat spektrum yang sesuai. Misalnya, di LTE lagi butuh spektrum yang lebih besar, 20 mega, kemudian di 2G traffic– nya lagi kecil, itu otomatis sudah diatur (untuk pindah ke spektrum 2G) oleh sistem ini (CloudAIR 2.0),” kata Indra.
Setiap operator telekomunikasi memiliki frekuensi yang terbatas untuk melayani pelanggannya. Frekuensi menjadi sumber daya bagi tiap operator telekomunikasi. Frekuensi adalah sarana produksi, seperti tanah bagi petani. Semakin besar spektrum yang mereka miliki, semakin besar sarana produksinya.
Di tengah keterbatasan spektrum, CloudAIR 2.0 menjadi solusi ketika kepadatan lalu lintas frekuensi makin tinggi. Terlebih ketika kebutuhan akan data berkecepatan tinggi makin besar.
Indra mengilustrasikan CloudAIR 2.0 dengan teknologi yang memungkinkan semua penumpang kereta api terangkut dengan layanan yang premium dan kecepatan sama.
”Jadi, spektrum ini ibarat kereta api. Ada penumpang kelas ekonomi, ada penumpang kelas bisnis. Dulu, kalau ada penumpang di salah satu kelas penuh, mereka tak bisa berpindah kelas. Dengan CloudAIR 2.0, jika salah satu kelas penuh, penumpang bisa pindah ke kelas lain sehingga semua penumpang bisa terangkut,” ujar Indra.
CloudAIR 2.0 memungkinkan operator untuk lebih fleksibel dalam hal pembangunan jaringan serta menyediakan pengalaman pengguna yang lebih baik. Bagi Telkomsel, seperti diutarakan Direktur Perencanaan dan Transformasi Telkomsel Edward Ying, penggunaan teknologi CloudAIR 2.0 memungkinkan perusahaannya melakukan efisiensi dalam pengeluaran modal (capital expenditure/capex).
Dengan traffic yang masih tinggi untuk pengguna 2G, Telkomsel tetap harus mengeluarkan biaya produksi untuk perawatan base transceiver station (BTS) di pelosok-pelosok negeri yang masih melayani pengguna telepon dan pesan singkat. CloudAir 2.0 memungkinkan BTS itu tak hanya dipakai pengguna 2G, tetapi juga oleh mereka yang bisa mengakses jaringan 4G atau LTE.
”Karena ada efisiensi spektrum, maka secara otomatis didapat juga efisiensi capex. Efisiensi yang didapat cukup signifikan sehingga bisa dialokasikan untuk membangun kembali di tempat lain yang lebih membutuhkan,” ucap Vice President Corporate Communication Telkomsel Aditia Irawati.
Dengan teknologi ini, diharapkan semua ”penumpang kereta” pun akan terangkut. (KHAERUDIN dari Barcelona, Spanyol)
Sumber: Kompas, 6 Maret 2018