Sinyal Cahaya Pertama Terdeteksi pada 180 Juta Tahun Setelah Dentuman Besar

- Editor

Senin, 5 Maret 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Alam semesta mulai terbentuk melalui dentuman besar atau big bang pada 13,8 miliar tahun lalu. Studi sebelumnya menunjukkan bintang tertua yang berhasil dideteksi terbentuk pada 400 juta tahun setelah dentuman besar. Namun, studi terbaru menunjukkan sinyal pertama dari bintang yang terbentuk di awal semesta itu sudah ada sejak 180 juta tahun setelah dentuman besar.

Studi terbaru itu didasarkan atas sinyal dari cahaya primordial yang diserap oleh hidrogen dan tertinggal dalam radiasi latar belakang. Bukti itu menunjukkan bahwa gas yang membentuk alam semesta dini lebih dingin dari yang diperkirakan. Kondisi itu diduga menjadi penanda dari adanya pengaruh dari materi gelap.

Jika studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, Rabu (28/2), itu terkonfirmasi oleh penelitian lain yang independen, temuan itu juga akan menandai keberhasilan deteksi materi gelap melalui cara yang berbeda, selain dilihat dari efek gravitasinya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Ini adalah untuk pertama kalinya kami mendeteksi sinyal dari awal alam semesta, menyisihkan cahaya yang tersisa setelah dentuman besar,” kata Judd Bowman, astronom dari Sekolah Ilmu Bumi dan Eksplorasi Antariksa, Universitas Negeri Arizona, di Tempe, Amerika Serikat, yang memimpin studi tersebut seperti dikutip dari nature.com, Rabu (28/2).

Meski demikian, banyak ahli meyakini temuan ini cukup kuat. ”Ini hal yang menarik karena dalam periode awal sejarah alam semesta, sangat sedikit yang sudah kita ketahui,” kata Saleem Zaroubi, kosmolog dari Universitas Groningen, Belanda.

Percikan bintang
Dentuman besar yang terjadi pada 13,8 miliar tahun lalu itu menandai pembentukan alam semesta. Peristiwa besar itu menghasilkan plasma terionisasi. Selanjutnya, plasma itu mendingin dengan sangat cepat saat alam semesta mulai mengembang.

Setelah 370.000 tahun sejak dentuman besar, plasma terionisasi itu mulai membentuk atom hidrogen netral. Seiring waktu dan di bawah pengaruh gravitasi, atom hidrogen netral itu mengelompok dan membentuk bintang-bintang dan mulai menghasilkan cahaya. Proses transisi hingga terlihatnya cahaya untuk pertama kali di semesta itu dikenal sebagai fajar kosmik.

Cahaya dari bintang-bintang pertama itu kini menjadi sangat samar hingga hampir tidak mungkin mendeteksinya dengan teleskop landas Bumi. Namun, para astronom sudah lama berharap untuk bisa mendeteksi cahaya pertama itu meski tidak secara langsung.

Pengamatan secara tidak langsung itu dipilih karena cahaya akan mengubah secara halus perilaku hidrogen yang mengisi ruang antarbintang. Gas hidrogen itu akan menyerap radiasi gelombang mikro kosmik latar belakang (CMB) yang tersisa pascadentuman besar sehingga intensitas CMB menurun.

Untuk mencari sinyal pertama itu, tim menggunakan teleskop radio yang disebut Eksperimen Pendeteksi Epoch Tanda Reionisasi Global (EDGES) yang ada di Observatorium Radioastronomi Murchison, Australia Barat. Karena obyek langit dan radio FM menghasilkan gelombang di pita gelombang yang sama, berkas sinyal itu harus dipisahkan secara hati-hati.

CSIRO AUSTRALIA–Spektrometer radio yang ada di Observatorium Radioastronomi Murchison, Australia Barat, yang digunakan untuk mendeteksi sinyal dari cahaya pertama.

Bowman dan rekan berhasil menemukan sinyal dari bintang pertama itu pada frekuensi sesuai yang mereka harapkan. Meski radiasi sinyal itu lebih lemah 0,1 persen dari perkiraan semula, magnitudonya justru dua kali lebih kuat dari yang diharapkan.

Keberhasilan penemuan sinyal pertama itu sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan. Para peneliti butuh sekitar dua tahun untuk memastikan bahwa sinyal itu bukan noise atau efek dari instrumen penelitian yang digunakan.

”Setelah dua tahun menguji temuan ini, kami tidak menemukan adanya penjelasan lain, selain bahwa sinyal itu berasal dari bintang pertama di awal semesta,” katanya.

Selanjutnya, dari analisis terhadap posisi sinyal itu dalam pita spektrum, para peneliti bisa menentukan umurnya. Hasilnya, fajar kosmis yang menandai cahaya pertama di semesta itu terjadi pada 180 juta tahun setelah dentuman besar.

N.R. FULLER, NATIONAL SCIENCE FOUNDATION–Model pembentukan alam semesta berdasar rentang waktu.

Kemudian, sinyal cahaya pertama itu hilang dan diganti dengan menguatnya energi sinar-X dari bintang pertama yang mati. Tim peneliti menandai hilangnya sinyal itu pada 250 juta tahun setelah dentuman besar.

Bowman mengatakan bahwa memahami cahaya pertama dari bintang primordial itu penting bukan hanya karena mereka membentuk materi di sekitarnya, melainkan karena ledakan bintang tersebut sebagai tanda kematiannya membentuk elemen-elemen yang lebih berat di semesta.

Elemen yang lebih berat, seperti karbon dan oksigen, menjadi materi yang membentuk bintang-bintang yang terbentuk kemudian. ”Jika kita ingin memahami jejak kosmik asal-usul kita, langkah kritis (pembentukan bintang pertama di semesta) itu harus dipahami,” katanya.

Sejarah alam semesta dini

  • Dentuman besar yang menandai pembentukan alam semesta terjadi 13,8 miliar tahun lalu.
  • Setelah itu terjadi proses pendinginan dan pembentukan atom hidrogen netral.
  • Periode hingga sebelum bintang pertama terbentuk disebut sebagai Zaman Kegelapan atau Dark Ages
  • Saat bintang pertama terbentuk, bintang itu mulai mengubah lingkungannya.
  • Kematian bintang pertama dengan cara meledak itu menghasilkan elemen berat pertama, seperti karbon dan oksigen.
  • Cahaya pertama atau cosmic renaissance adalah era kunci dalam sejarah alam semesta.
  • Cosmis renaissance itu diperkirakan mencapai puncaknya pada 560 juta tahun setelah dentuman besar.

(NATURE/BBC/LIVESCIENCE)–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 2 Maret 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB