Kementerian Kesehatan mengampanyekan imunisasi japanese encephalitis secara massal di sejumlah provinsi pada Maret-April 2018. Imunisasi terhadap virus japanese encephalitis itu dicanangkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh terhadap virus itu, menurunkan jumlah kasus sindrom ensefalitis akut (acute encephalitis syndrome), dan mengurangi angka kesakitan akibat penyakit tersebut.
Tahun ini, pengenalan terhadap imunisasi japanese encephalitis (JE) dimulai di Provinsi Bali. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek saat mencanangkan program tersebut di Tabanan, Bali, Kamis (1/3), menegaskan, sasaran imunisasi ini untuk anak berusia 9 bulan hingga kurang dari 15 tahun.
WWW.CDC.GOV–Nyamuk Culex tarsalis
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selanjutnya, imunisasi JE akan masuk dalam program imunisasi rutin di Bali yang akan diberikan kepada bayi umur 10 bulan.
Selain pemberian imunisasi secara massal, program juga akan melakukan sweeping atau pemeriksaan serentak untuk menjangkau anak-anak yang belum sempat diimunisasi saat pemberian vaksin dilakukan, baik karena sakit, sedang bepergian, orangtua sibuk, maupun belum mengetahui program imunisasi JE.
Radang otak
JE adalah penyakit radang otak (ensefalitis) yang disebabkan virus JE. Reservoir atau tempat hidup dan berkembang virus JE ini adalah babi, kuda, dan sejumlah spesies burung.
Vektor atau binatang yang menularkan virus tersebut ke manusia adalah nyamuk Culex yang terinfeksi virus JE melalui gigitannya. Namun, manusia adalah rantai akhir dari penyebaran virus JE alias manusia tidak bisa menjadi sumber penyebaran virus JE.
Virus JE merupakan penyebab utama penyakit ensefalitis akibat virus di Asia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2012 menyebutkan, hampir semua negara Asia, antara lain Jepang, Korea, India, Sri Lanka, dan Indonesia, serta sejumlah negara di Pasifik barat rentan terhadap penyakit JE.
Surveilans yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2016 menemukan penyakit JE terdapat di sembilan dari 11 provinsi yang disurvei. Kesembilan provinsi itu adalah Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Dari 326 kasus ensefalitis akut (AES) yang disurvei pada 2016 itu, ditemukan 43 kasus atau 13 persen kasus AES adalah positif JE. Dari jumlah positif JE tersebut, 85 persen kasus dialami mereka yang berusia kurang dari 15 tahun dan sisanya pada umur lebih dari 15 tahun.
Kasus JE tertinggi ditemukan di Bali sehingga provinsi tersebut dijadikan tempat pencanangan imunisasi JE tahun ini.
WWW.CDC.GOV–Kawasan rentan penularan virus japanese encephalitis.
Di Indonesia dan negara-negara lain, jumlah kasus JE diperoleh melalui surveilans AES karena tanda klinis dari JE tidak bisa dibedakan dengan penyebab lain dari AES.
Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium menjadi kunci. Seseorang akan dinyatakan menderita penyakit JE jika pemeriksaan laboratorium terhadap penderita AES positif mengandung virus JE.
Gambaran klinis
Tanda ensefalitis biasanya muncul 4-14 hari setelah gigitan nyamuk. Gejala umum yang terlihat antara lain demam tinggi mendadak, perubahan kondisi mental, gangguan gastrointestinal atau sistem pencernaan khususnya lambung dan usus, serta sakit kepala. Gejala lainnya adalah gangguan bicara, berjalan, atau gangguan motorik yang muncul secara gradual.
Gejala yang muncul pada anak biasanya berupa demam, iritabilitas (peka terhadap rangsangan), muntah, diare, dan kejang. Sekitar 75 persen anak penderita AES pasti akan mengalami kejang.
Sementara keluhan yang paling sering muncul pada orang dewasa adalah sakit kepala dan peningkatan tekanan intrakranial atau rongga kepala.
”JE dapat menimbulkan kematian. Jika bertahan, biasanya terdapat gejala sisa yang berat, termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental,” ujar Nila.
Kematian akibat penyakit JE berkisar 5-30 persen. Porsi kematian lebih tinggi terjadi pada anak-anak, terutama yang berumur kurang dari 10 tahun. Kalaupun penderita mampu bertahan hidup, mereka umumnya akan mengalami gejala sisa, seperti gangguan sistem motorik, perilaku, intelektual, hingga gangguan fungsi neurologi.
Gangguan sistem motorik yang muncul itu, antara lain, berupa gangguan motorik halus, kelumpuhan, hingga gerakan tubuh yang abnormal. Gangguan perilaku yang terlihat biasanya berupa sikap yang makin agresif, emosi tak terkontrol, serta gangguan perhatian dan depresi.
Gangguan intelektual yang muncul biasanya berupa retardasi atau kemampuan intelektual yang ada di bawah rata-rata dan sulit menyesuaikan diri. Sementara gangguan fungsi neurologi yang teramati biasanya berupa gangguan ingatan atau memori, epilepsi, hingga kebutaan.
Bisa dicegah
Hingga kini, belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit JE. Upaya yang dilakukan dokter umumnya hanya untuk mengurangi gejala yang muncul dan mencegah memburuknya gejala. Meski demikian, JE dapat dicegah dengan pemberian imunisasi dan menghindari gigitan nyamuk yang jadi vektor penyebar virus JE.
Sejumlah faktor risiko yang memungkinkan penyebaran penyakit ini antara lain meningkatnya populasi nyamuk khususnya pada musim hujan dan tidak adanya antibodi spesifik terhadap JE, baik yang muncul secara alami maupun imunisasi.
Selain itu, tinggal di daerah endemik JE dan perilaku ceroboh yang meningkatkan risiko gigitan nyamuk, seperti tidur tanpa kelambu, juga meningkatkan potensi menderita JE.
Pencegahan dengan imunisasi dilakukan dengan pemberian vaksin JE. Untuk anak-anak, vaksin ini diberikan dengan dosis 0,5 mililiter melalui suntikan subkutan atau disuntikkan ke lapisan lemak yang ada di bawah kulit.
Untuk anak berumur 9-12 bulan, suntikan diberikan pada paha kanan. Sementara anak berumur lebih dari 12 bulan vaksin disuntikkan pada lengan kanan.
Vaksin JE ini sudah mendapat rekomendasi dari WHO dan sertifikat pelulusan batch dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Vaksin JE tersebut sudah digunakan di sejumlah negara sehingga keamanan dan efektivitasnya cukup diakui. Namun, anak yang akan divaksin harus dipastikan dalam keadaan sehat dan bisa menerima imunisasi JE.
Untuk program imunisasi JE di wilayah sasaran, imunisasi akan diberikan di pos pelayanan imunisasi yang telah ditentukan, seperti pendidikan anak usia dini, taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama.
Selain itu, imunisasi juga bisa dilakukan di posyandu, pondok bersalin desa (polindes), pos kesehatan desa (poskesdes), puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lain yang ditunjuk.–ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 3 Maret 2018