Perbalahan yang sudah lama selesai dan tenggelam itu tempo hari bangkit lagi. Itulah perbantahan soal ”bumi datar” versus ”bumi bulat”. Bukannya mempersoalkan kembali pokok basi itu, saya tertarik pada sesuatu yang lebih menggelitik ini. Bila bumi dan dunia bersinonim, mengapa jarang sekali atau malah barangkali belum pernah kita temukan konstruksi ”dunia datar” atau ”dunia bulat”.
Sebaliknya, bentuk ”bumi ketiga” atau ”bumi persilatan” terasa membuat kuping kita sedikit gatal. Itu sangat boleh jadi karena kita terbiasa mendengar ”dunia ketiga” dan ”dunia persilatan”.
Sebenarnyalah, apalagi mengingat bumi dan dunia bersinonim, tidak ada alasan mengatakan bumi dan dunia di sana tidak bisa saling dipertukarkan. Jadi, bumi atau dunia yang benar untuk konstruksi-konstruksi itu tadi? Sampai di sini tampaknya mesti buru-buru saya menambahkan apa yang pernah saya utarakan di lain kesempatan, bahwa tidak semua perihal kebahasaan berpaut dengan soal benar salah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata depan ditulis bersambung dengan, atau awalan dipisah dari, kata yang mengikutinya, jelas bisalah kita katakan salah. Contoh: dirumah mestinya di rumah; di makan mestinya dimakan. Tapi, menyebut ”dunia datar”, ”dunia bulat”, ”bumi ketiga”, atau ”bumi persilatan”, saya kira bukan keliru, melainkan tidak lazim. Bumi datar/bulat lebih jamak daripada dunia datar/bulat. Sebaliknya, ”dunia ketiga” dan ”dunia persilatan” lebih lazim daripada ”bumi ketiga” dan ”bumi persilatan”.
Sekalipun bumi dan dunia bersinonim, kata sifat ”datar” dan ”bulat” cenderung mendekat ke bumi, sedang kata benda ”ketiga” dan ”persilatan” lebih suka menempel pada dunia. Dan, inilah yang ingin saya katakan, kecenderungan seperti itu justru seperti hendak membantah, mengingkari, kesamaan arti bumi dan dunia.
Coba sandingkanlah frasa ”bumi ketiga” dan ”dunia ketiga”, misalnya. ”Bumi ketiga” menyiratkan pengertian bahwa bumi adalah benda, yang jumlahnya lebih dari satu. Bumi adalah sebuah planet berupa benda padat bulat, berlapis-lapis, dan permukaannya tidak rata. Kita mengatakan bumi berputar pada porosnya. Kita pun mengenal energi panas bumi. Pendeknya, bumi adalah satu wujud, entitas.
Sedangkan dunia pada ”dunia ketiga” bukan merujuk pada bendanya, melainkan pada sekumpulan negara (berkembang) atau sekelompok bangsa (nonblok) yang ada di permukaannya. Dunia juga punya arti lingkungan, semesta, alam—seperti kita temukan pada ”dunia hewan” (fauna), ”dunia tumbuhan” (flora), atau ”dunia persilatan”.
Yang menarik pada bahasa, kecenderungan dua kata yang saling mendekat tadi tidak menuruti satu aturan yang tetap, pasti, kaku. Seolah-olah hendak menegaskan bahwa tak ada yang tetap dalam bahasa. Kita ingat, selain konstruksi ”dunia hewan” dan ”dunia tumbuhan”, ada Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer.–EKO ENDARMOKO
Sumber: Kompas, 24 Februari 2018