Data genomik telah menjadi dasar penting bagi diagnosis penyakit dan pengobatan yang lebih baik. Hal itu karena banyak penyakit dipengaruhi variasi genetik manusia berdasarkan etnis tertentu.
Direktur Senior Biologi Molekuler dan Penyakit Metabolisme Genentech Andrew Peterson menyebutkan pentingnya data genomik dalam dunia medis pada seminar di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, Rabu (14/2). ”Serum kreatinin (tes darah) saat ini telah disesuaikan dengan umur, jenis kelamin, dan etnis,” kata Andrew.
Data genomik merupakan studi tentang seluruh genom dari suatu organisme. Sementara genom merupakan seluruh informasi bahan genetik atau material yang diwariskan dari tetuanya kepada keturunannya yang ada pada suatu organisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Andrew memaparkan upaya timnya yang berhasil memetakan seluruh genom (whole genome sequences) dari 1.739 individu di Asia yang mewakili 64 negara dan 200 etnik. Sebagian besar data genomik ini diambil di Asia Selatan, seperti India dan Pakistan. ”Dengan data ini, kami bisa melakukan diagnosis molekuler sehingga bisa memberikan pengobatan yang lebih tepat,” ungkapnya.
–Selain dipengaruhi perilaku manusia dan kondisi lingkungan, banyak penyakit bersifat genetis. Untuk itu, dibutuhkan data genomik.
Andrew menambahkan, beberapa penyakit sangat dipengaruhi oleh keberadaan gen tertentu yang hanya ada di populasi tersebut. Contohnya, populasi di Asia memiliki kerentanan terhadap diabetes dibandingkan orang Eropa. ”Jika dipicu oleh kebiasaan makan yang salah, populasi di Asia menjadi lebih rentan diabetes,” ujarnya.
Data Eijkman menyebutkan, masyarakat Indonesia diketahui memiliki DNA mitokondria yang punya kadar basa T16189C dengan persentase di atas 30-40 persen, bahkan Nias 60 persen, dan sejauh ini menjadi yang tertinggi. Makin tinggi kadar T16189C-nya kian berisiko terkena diabetes melitus.
Gen purba
Pembicara lain dalam seminar, ahli ekologi dan evolusi Jeffrey D Wall dari Universitas California, San Francisco, memaparkan adanya pembauran genetik manusia purba dalam manusia modern (Homo sapiens) saat ini. ”Begitu keluar dari Afrika sekitar 100.000 tahun lalu, nenek moyang kita bertemu dengan beberapa manusia arkaik (purba) yang telah punah, seperti Neanderthal, Denisovan, dan Homo floresiensis.
Dua manusia purba yang telah ditemukan pada gen manusia saat ini adalah Neanderthal dan Denisovan. Menurut Jeffrey, penelitian terbaru menunjukkan bahwa keberadaan Neanderthal ditemukan di Eropa hingga Papua. Komposisi berbeda di setiap populasi dengan yang tertinggi sekitar 2 persen.
Sementara untuk Denisovan, yang tertinggi mencapai 4-5 persen ditemukan pada populasi Australo-Melanesia, nenek moyang Papua dan Aborigin. Populasi yang memiliki komposisi Denisovan tinggi lainnya adalah orang Negrito di Filipina.
Keberadaan gen manusia purba ini diduga membantu manusia modern untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di luar Afrika. Meskipun demikian, menurut Jeffrey, gen manusia purba ini diduga juga menularkan penyakit kepada manusia modern.
Beberapa penyakit yang dibawa Neanderthal pada manusia modern itu antara lain kecanduan rokok, diabetes tipe 2, dan radang usus kronis. ”Penyakit yang dibawa Denisovan saat ini belum banyak diketahui. Riset-riset medis tentang itu pada populasi Papua saat ini masih sangat kurang,” katanya.
Sementara itu, peneliti genetik dari Lembaga Eijkman, Pradiptajati Kusuma, memaparkan temuannya tentang migrasi etnis Banjar di Kalimantan ke Madagaskar. Mereka kemudian berbaur dengan suku Bantu dari Afrika dan menjadi nenek moyang orang Madagaskar saat ini. Migrasi dari Banjar terjadi sekitar 1.200 tahun lalu pada era Sriwijaya.
”Sejauh ini belum diteliti apakah migrasi orang Banjar ke Madagaskar juga membawa penyakit tertentu. Namun, yang jelas, malaria yang ditemukan di Madagaskar berasal dari Afrika,” ucapnya. (AIK)
Sumber: Kompas, 15 Februari 2018