Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, anak-anak menghadapi tantangan serius ketika pendidikan hanya seaedar menjadi industri yang memberikan keterampilan dan pengetahuan semata tanpa diperkuat dengan pendidikan karakter. Menurut filsuf Yunani, Platon, pendidikan karakter diperlukan untuk mendidik manusia agar merdeka dari gejolak nafsu kenikmatan daging.
Kritik pedas itu disampaikan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) J Kristiadi dalam Bedah Buku Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, 2017 karya A Setyo Wibowo dan buku Paideia: Mendidik Negarawan Menurut Platon, 2017 karya Haryanto Cahyadi, di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (10/2).
”Diperlukan koreksi total karena pendidikan Indonesia (masih) sekadar menjadikan orang pinter dan mumpuni di bidang teknik tanpa memiliki karakter. Ini berbahaya sekali, seperti orang yang diberi pisau tetapi tidak pernah diberi tahu bahwa pisau ini hanya diperbolehkan untuk mengupas buah, nantinya pisau itu bisa digunakan pula untuk membunuh,” katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ALOYSIUS B KURNIAWAN–Buku Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, 2017 karya A Setyo Wibowo (kiri) dan Buku Paideia: Mendidik Negarawan Menurut Plato, 2017 karya Haryanto Cahyadi (kanan). Kedua buku yang mengupas tentang gagasan-gagasan filsuf Platon terkait pendidikan serta politik ini diterbitkan Penerbit PT Kanisius
Karena itulah, selain pendidikan keterampilan dan pengetahuan, pendidikan karakter juga sangat penting, yaitu bagaimana manusia dididik agar bisa mengalahkan gejolak nafsu kenikmatan dengan lebih memperkuat dorongan dan hasrat berdasarkan nalar dan sifat ksatria. Artinya, pendidikan adalah proses memerdekakan orang dari ancaman kenikmatan daging.
Dengan kata lain, menurut Kristiadi, pendidikan juga perlu menggugah kesadaran orang untuk membuka niat-niat baiknya. Artinya, pendidikan tidak semata-mata menciptakan murid menjadi robot yang hanya terampil tetapi tak memiliki kesadaran diri.
KOMPAS/ALOYSIUS B KURNIAWAN–Guru Besar STF Driyarkara, Alex Lanur, menyalami peneliti CSIS, J Kristiadi, disaksikan Direktur Keamanan dan Keselamatan Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI Brigadir Jenderal (Pol) Chrysnanda Dwi Laksana (ketiga dari kanan), moderator bedah buku, Ito Prajna-Nugroho; serta dua penulis buku, A Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi, di Aula STF Driyarkara, Jakarta, Sabtu (10/2).
Pendidikan parpol macet
Selain dilakukan oleh sekolah dan perguruan tinggi, partai politik juga semestinya memberikan pendidikan politik sesuai dengan ideologi mereka kepada para kader dan publik. Namun, menurut Kristiadi, peran itu tidak jalan sama sekali.
Bagaimana bisa, ada parpol yang anggotanya menjadi tersangka kuropsi lalu pimpinan parpolnya bilang itu karena gajinya terlalu kecil, bahkan ada juga parpol yang meminta duit kepada para kadernya. Ini sangat mengerikan. Peran parpol untuk mendidik harus dilakukan karena parpol adalah ’pabrik’ dari para penguasa. Reformasi parpol sangat mendesak dilakukan,” katanya.
Dalam kondisi seperti ini, ketika negara belum mampu membuat kebijakan yang jelas, menurut Kristiadi, masyarakat harus berani memulainya. Agar proses demokrasi berjalan dengan benar, masyarakat tidak boleh tinggal diam dan harus berbuat sesuatu.
Dalam acara yang sama, Direktur Keamanan dan Keselamatan Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI Brigadir Jenderal (Pol) Chrysnanda Dwi Laksana mengatakan, pendidikan semestinya mampu membangkitkan kesadaran orang untuk lebih berbudaya, lebih beradab, memiliki kepekaan, kepedulian, dan mau berbela rasa. Dengan demikian, mereka yang dididik demikian nantinya ketika memiliki kewenangan dan kekuasaan bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Artinya, pendidikan adalah proses mentransformasi kepekaan dan kepedulian kepada sesama manusia.
KOMPAS/ALOYSIUS B KURNIAWAN–Plato, filsuf Yunani tahun 428/427-347/346 SM yang menulis buku berjudul Politeia (The Republic), memberikan inspirasi-inspirasi bagus mengenai bagaimana mendidik dan menyiapkan para pemimpin.
Gagasan Platon yang telah dicetuskannya sejak 2.500 tahun lalu ternyata masih aktual hingga sekarang. Setyo Wibowo dalam bukunya memaparkan intuisi Platon yang sederhana: pendidikan manusia yang merdeka dan berdaulat mesti diawali dari pendidikan rasa-merasanya atau sensibilitasnya. Persis pada tahap ini, menurut Setyo, pendidikan Indonesia mengabaikannya.
Jan Patoéka (1907-1977), murid filsuf Edmund Husserls, mengatakan, lewat teknologi, manusia diberi ilusi bisa mengembangkan dirinya secara tepat dan tak terbatas secara kuantitatif. Pertumbuhan atas dasar logika sains dan teknologi yang hanya mengenal istilah cepat atau lebih cepat lagi menghilangkan sesuatu yang wajar dan normal dalam hidup manusia, yaitu keseimbangan individual ataupun komunal.
Menurut Platon, hasrat tak terbatas menjadi pangkal dari perang dan ketidakadilan. Kondisi ini tergambar dari persoalan konkret zaman ini, di mana manusia kian tenggelam dalam arus mencari yang lebih cepat, lebih canggih, dan selalu lebih banyak melarutkan dirinya dalam keragaman tanpa fokus.
Ironisnya, alih-alih menemukan diri, arus yang serba cepat justru membuat manusia tersesat di antara banyak hal yang melingkupinya. Dalam hasratnya merangkul segala sesuatu, ia malah tidak menjadi apa pun dan kehilangan jati dirinya sendiri (hal 20-21, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, 2017; Setyo Wibowo)–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 12 Februari 2018