Populasi Bekantan di kawasan Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur, diperkirakan tersisa 100 kelompok atau hanya 1.000-2.000 ekor. Berkurangnya hamparan bakau, yang beralih menjadi kawasan permukiman dan industri dalam 20-30 tahun terakhir, menjadi penyebab utama.
”Itu angka perkiraan dua tahun lalu. Namun, itu masih cocok menggambarkan kondisi sekarang,” kata Amir Ma’ruf, peneliti satwa liar dari Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, di Balikpapan, Minggu (4/2).
Beberapa tahun terakhir, Amir hanya menjumpai sekitar 100 kelompok bekantan di Teluk Balikpapan, meliputi daerah Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Penajam Paser Utara. Jika satu kawanan beranggotakan 10-20 bekantan, berarti hanya ada 1.000-2.000 bekantan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA–Seekor bekantan bertengger di rerimbunan pohon bakau di Mangrove Center Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin (1/9/2014) petang.
Padahal, pemerhati primata asal Republik Ceko, Stanislav Lhota, pernah menyebut, ada 1.400 bekantan di Teluk Balikpapan pada 2012. Jumlah itu sekitar 5 persen dari seluruh populasi bekantan di dunia.
Kawasan bakau
Permukiman dan industri di area teluk itu tumbuh pesat dalam 20-30 tahun terakhir. Amir memperkirakan, separuh dari 70.000 hektar bakau primer di Teluk Balikpapan berkurang. Bakau banyak terdapat di hulu.
”Kelompok bekantan yang dulu mudah dijumpai di beberapa lokasi kini tak lagi. Bagi bekantan, bakau adalah tempat hidup dan sumber pakan. Jika bakau habis atau terganggu manusia, bekantan mencari tempat baru,” kata Amir.
Sementara itu, Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB) Mapaselle memperkirakan, jumlah bekantan di Teluk Balikpapan tinggal 1.000-1.200 ekor. Melihat kawasan Teluk Balikpapan yang kian terbuka dan ramai, Mapaselle menilai, jumlah bekantan sulit bertambah.
Sekitar 20-30 tahun lalu, jumlah bekantan masih banyak. Meski tidak tahu angka persisnya, Mapaselle mengatakan, dulu mudah sekali menjumpai bekantan. Ibaratnya, di belakang rumah yang rimbun bakaunya, bekantan-bekantan selalu terlihat.
Geliat pertumbuhan Kawasan Industri Kariangau (KIK) dan permukiman serta sarana pendukungnya tak terhindarkan. Satu demi satu bakau primer terpangkas. Hilir mudik kapal yang makin ramai bisa mengganggu dan menyingkirkan bekantan.
Sejauh ini, perlindungan terhadap bakau-bakau primer agar tak dibabat amat minim. Bakau-bakau di areal Hutan Lindung Sungai Wain atau di Mangrove Center Balikpapan, yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi pada 2010, belum aman.
Bekantan (Nasalis larvatus) yang kerap disebut ”monyet belanda” karena hidungnya besar dan rambutnya kemerahan ini adalah satwa endemis Kalimantan. Bekantan bergantung pada bakau sebagai tempat hidup dan sumber pakan. Karakternya berbeda dibandingkan dengan orangutan.
”Orangutan bisa masuk ke permukiman, rumah, dan kebun sawit untuk mencari makan. Bisa beradaptasi dengan makanan manusia. Namun, bekantan tidak bisa. Tak ada bekantan yang bisa dipelihara, bukan? Jika bakau dibabat, bekantan menuju punah,” kata Amir. (PRA)
Sumber: Kompas, 6 Februari 2018