Letusan dahsyat Gunung Tambora, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, 10 April 1815, yang memengaruhi cuaca dan kehidupan di dunia telah menginspirasi para pemerhati dan pencinta gunung api mancanegara untuk menjadikan 10 April sebagai Hari Gunung Api Dunia atau ‘International Day Of Volcanoes’. Karena itu, masyarakat di seluruh dunia diminta memberikan dukungan melalui internet: situs https:www.thepetitionsite.com/takeaction.
Heryadi Rachmat, dari Museum Geologi Bandung, Senin (5/2), di Bandung, yang dihubungi dari Mataram, mengatakan, penggagas erupsi Tambora sebagai Hari Gunung Api Dunia adalah Tanguy De Saint-Cyr, pemilik perusahaan wisata gunung berapi Prancis ‘Aventure et Volcans’, dan Jeannie Curtis, penulis Selandia Baru dan promotor berita gunung berapi di dunia.
Keduanya kini menggalang dukungan maupun petisi di seluruh dunia. Hasil petisi itu dijadikan bahan proposal yang akan dipresentasikan di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sesuai prosedur, selain petisi itu perlu dukungan pemerintah daerah dan masyarakat, juga dukungan masyarakat internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Mereka (Tanguy dan Jeannie Curtis) juga sudah menghubungi PBB, Pemerintah Selandia Baru, Perancis dan Costarika guna mencari dukungan,” ujar Heryadi.
Guna mendapatkan dukungan itu, diperlukan 70.000 petisi dari seluruh dunia. Jumlah itu dikaitkan dengan perkiraan korban akibat letusan dahsyat Tambora.
Guna mendapatkan dukungan itu, diperlukan 70.000 petisi dari seluruh dunia. Jumlah itu dikaitkan dengan perkiraan korban akibat letusan dahsyat Tambora. Artinya, satu korban diperlukan satu petisi. Hingga Senin (5/2) pukul 00.46 WIB baru terkumpul 324 petisi, yang terbanyak adalah petisi dari Indonesia.
Berdampak besar
Usulan 10 April sebagai Hari Internasional Gunung Api, karena 10 April 1815 Gunung Tambora di Indonesia meletus, menghasilkan aliran piroklastik dan tsunami besar yang langsung membunuh 10.000 penduduk setempat, yang tidak menyadari adanya bahaya. Letusan besar itu menyuntikkan aerosol dalam jumlah besar ke dalam stratosfer bumi.
Akibatnya terjadi kabut global yang memantulkan kembali sinar matahari yang masuk dan mendinginkan planet hingga setengah derajat celsius. Hal ini memengaruhi iklim planet selama tiga tahun, menyebabkan kegagalan panen dan kelaparan, dan ada 60.000 orang manusia meninggal di seluruh dunia. Satu tahun setelah letusan terjadi ‘tahun tanpa musim panas di Amerika Utara dan Eropa.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR–Selain memiliki kopi, madu, dan kemiri sebagai komoditas unggulan dari pertanian, kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Batulanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat kini dikembangkan menjadi destinasi ekowisata. Salah satunya pemandangan alam dengan lanskap Gunung Tambora dan Pulau Moyo di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, di Desa Batudulang, Batulanteh, seperti yang terlihat pada Selasa (18/7/2017).
Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Dompu, Agus Bohari, menyatakan dukungan penuh atas gagasan itu. Apalagi kawasan Tambora itu kini menjadi obyek wisata, sehingga ide itu merupakan promosi sumber daya alam dan pariwisata Dompu.
“Saya pikir banyak pendidikan yang didapat oleh generasi muda saat ini dari letusan Tambora seperti sebagai media edukasi sejarah geologi mitigasi bencana bagi masyarakat dan siswa,” ujar Agus Bohari, yang akan segera memanggil para camat dan kepala desa untuk sosialisasi dan memberikan dukungan demi terealisasinya target 70.000 petisi itu.–KHAERUL ANWAR
Sumber: Kompas, 6 Februari 2018