Penggelembungan pembuluh darah arteri atau aneurisma di otak perlu ditangani secara bijak. Besarnya risiko membuat operasi bukan satu-satunya pilihan tindakan. Kesejahteraan pasien dan keluarganya perlu diperhatikan.
Guru Besar Bedah Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan-Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, Eka J Wahjoepramono memaparkan hal itu dalam kuliahnya di Mayo Clinic, Rochester Minnesota, Amerika Serikat, Selasa (30/1).
”Dokter perlu memperhitungkan tingkat keberhasilan tindakan,” katanya. Karena itu, observasi saja guna memantau perkembangan penyakit kadang lebih baik dilakukan daripada mengoperasi pasien aneurisma.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aneurisma atau tonjolan pembuluh darah berukuran 1 milimeter bisa pecah hingga memicu perdarahan otak. Dampaknya beragam, dari stroke sampai kematian. Repotnya, perkembangan aneurisma biasanya menahun dan tak ada gejala apa pun.
Di sisi lain, aneurisma, meskipun berukuran raksasa atau lebih dari 2,5 sentimeter, belum tentu pecah. Namun, besarnya ukuran aneurisma itu bisa menimbulkan dampak, seperti tumor pada otak yang mengganggu sistem saraf lain.
Kuliah Eka di Mayo Clinic diikuti dokter bedah saraf, residen atau mahasiswa pendidikan dokter spesialis bedah saraf, dan mahasiswa kedokteran di lembaga itu. Mayo Clinic ialah lembaga kesehatan terkemuka dunia yang menjadi rujukan pemeriksaan kesehatan pejabat banyak negara, termasuk Indonesia.
Keunggulan itu dibuktikan dari predikat yang disandang Mayo Clinic sebagai rumah sakit terbaik di AS pada 2017-2018 yang ditetapkan majalah mingguan AS, US News and World Report. Sementara spesialisasi saraf dan bedah saraf di Mayo Clinic menduduki peringkat pertama di AS pada 2016 dan 2017.
Kuliah itu jadi wahana pemelajaran bersama penanganan aneurisma oleh RS Siloam dan Mayo Clinic. Profesor bedah saraf Mayo Clinic, Giuseppe Lanzino, yang mengundang Eka menilai kuliah umum itu memperluas wawasan dokter di lembaganya.
Di Indonesia
Penanganan aneurisma di Indonesia baru berkembang 20 tahun terakhir. Sebelumnya, banyak pasien Indonesia mendapat penanganan aneurisma di sejumlah rumah sakit di negara lain. Namun, kini Indonesia termasuk negara Asia Tenggara yang unggul dalam penanganan aneurisma meski jumlah kasus yang ditangani di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibanding AS.
”Sejak 1997 hingga kini, tim bedah saraf RS Siloam menangani sekitar 1.000 kasus aneurisma. Itu jauh lebih kecil dibanding potensi warga mengalaminya,” ujarnya. Untuk itu, RS Siloam memiliki tim bedah saraf beranggotakan 21 dokter bedah saraf untuk melayani pasien di 40 RS Siloam di Indonesia.
Mayo Clinic bisa belajar dari RS Siloam tentang keragaman kasus, jenis tindakan yang diperlukan, dan sistem penanganan aneurisma. Sistem penanganan penting mengingat wilayah Indonesia amat luas dan tersebar serta memiliki sekitar 260 juta penduduk, tetapi hanya ada sekitar 300 dokter bedah saraf.
Menyikapi kondisi serba terbatas itulah perlu ada kebijaksanaan penanganan aneurisma di Indonesia. Tindakan aneurisma mahal dan tak mudah. Namun, risiko dihadapi dari setiap tindakan amat besar. Jadi, risiko tiap tindakan perlu didialogkan tim dokter dengan pasien dan keluarganya dengan baik.
Menurut Eka, pola pembiayaan penanganan aneurisma amat memengaruhi kebijaksanaan tim dokter untuk menanganinya. Dari sejumlah kasus, negara yang menerapkan sistem pembayaran langsung (fee for service) untuk pasien aneurisma kurang hati-hati dalam memilih tindakan yang tepat.
Di negara dengan pembiayaan pasien aneurisma memakai sistem asuransi pun perlu ekstrahati-hati. Biaya asuransi yang terlalu kecil, tak sebanding dengan biaya alat, material, dan usaha yang dilakukan tenaga medis berdampak pada mutu kerja tenaga medis yang memengaruhi tingkat keselamatan pasien.–M ZAID WAHYUDI DARI ROCHESTER MINNESOTA, AMERIKA SERIKAT
Sumber: Kompas, 5 Februari 2018