Konsorsium peneliti gambut dari Jerman, Belanda, dan Indonesia yang tergabung dalam Tim Pemetaan Gambut Internasional (International Peat Mapping Team/IPMT) terpilih sebagai pemenang Indonesia Peat Prize. Tim ini memperoleh penghargaan bernilai 1 juta dollar AS.
Kompetisi ini berlangsung selama dua tahun dan diikuti 44 tim peserta. Pemenang kompetisi ini diumumkan Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin di Jakarta, Jumat (2/2), bertepatan dengan Hari Lahan Basah Sedunia.
Penyelenggaraan lomba ini oleh BIG bekerja sama dengan David and Lucile Packard Foundation, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta World Resources Institute (WRI) Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lomba ini bertujuan menemukan metode terbaik untuk memetakan luasan dan ketebalan lahan gambut.
”Lomba ini bertujuan menemukan metode terbaik untuk memetakan luasan dan ketebalan lahan gambut,” ujar Hasanuddin.
Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia Supiandi Sabiham, selaku Ketua Dewan Juri, mengatakan, untuk memetakan gambut para finalis menggunakan berbagai teknologi, di antaranya teknik penginderaan jauh menggunakan laser atau LiDAR.
Penetapan pemenangnya berdasarkan pada tingkat akurasi, kelayakan ekonomi, dan kecepatan metodologi dalam memetakan gambut.
Supiandi mengatakan, IPMT dapat mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR (teknologi pengukuran menggunakan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi 3 dimensi) yang diterbangkan dengan pesawat, dan pengukuran di lapangan. Metode pemetaannya akurat, cepat, dan terjangkau.
Tim ini memiliki beberapa alternatif dalam pemetaan gambut tergantung kondisi areal gambut yang diukur. Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua kondisi, gambutnya memang heterogen. Metode ini dapat diaplikasi di lokasi tersebut.
Identifikasi kubah gambut
Ketua Badan Restorasi Gambut Nazir Foead mengatakan, pihaknya akan segera menggunakan metode yang dihasilkan pemenang IPP. Selain itu, pihaknya juga akan meninjau kemungkinan penggunaan metode dari para finalis untuk mempercepat proses identifikasi kubah gambut dan pemetaannya.
KOMPAS/PRIYOMBODO–Petugas gabungan berusaha memadamkan kebakaran lahan gambut di Desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau, Sabtu (5/9/2017). Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau belum berakhir meskipun upaya pemadaman terus dilakukan.
Tim IPMT telah melakukan penelitian kubah gambut selama 20 tahun terakhir. Penelitian menunjukkan, ketika tinggi air di kubah gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran.
Bambang Setiadi, anggota tim IPMT, menjelaskan, timnya telah melakukan penelitian kubah gambut selama 20 tahun terakhir. Penelitian menunjukkan, ketika tinggi air di kubah gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran.
”Metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah gambut, yang dapat digunakan untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lainnya untuk tujuan restorasi,” paparnya.
Penetapan titik pengukuran di lapangan berbasis pada serangkaian data historis citra satelit yang dimiliki Remote Sensing Solution Jerman.
Makin tebal lapisan gambut, makin parah pula dampak ekologis yang ditimbulkan akibat kerusakan gambut, termasuk pelepasan emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Pengukuran kedalaman atau ketebalan lahan gambut sangat penting. Makin tebal lapisan gambut, makin parah pula dampak ekologis yang ditimbulkan akibat kerusakan gambut, termasuk pelepasan emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Hasanuddin mengatakan, BIG akan mendorong pemanfaatan metode pemetaan gambut yang dihasilkan sebagai rujukan dan ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia.
Untuk mengaplikasikan metode pemetaan gambut tersebut, ia akan mengeluarkan peraturan Kepala BIG tentang pemetaan gambut pada skala 1:50.000.
”Dengan membuat metode tersebut sebagai standar, kita akan memperoleh peta gambut beserta data dan informasi spasialnya sebagai sarana melindungi lahan gambut secara lebih efektif dan efisien,” ujar Hasanuddin.
Indonesian Peat Prize diprakarsai oleh BIG untuk merespons minim jumlah dan rendahnya akurasi data dan informasi gambut di Indonesia.
Ketidakpastian mengenai data dan informasi tentang gambut menghambat berbagai upaya perlindungan dan restorasi gambut. Ketidakpastian itu juga menciptakan ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melanjutkan alih fungsi lahan gambut, yang sering kali menyebabkan keringnya gambut dan kebakaran.–YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 2 Februari 2018