Program riset iptek di Indonesia perlu ditata ulang. Hal ini mengacu pada ketersediaan anggaran yang terbatas dan pemenuhan kebutuhan industri serta untuk mendukung program utama nasional. Kegiatan riset yang akan dilaksanakan ini telah tertuang dalam Rencana Induk Riset Nasional.
Riset tak hanya untuk menghasilkan publikasi ilmiah, tetapi juga harus dapat memberi manfaat bagi industri. Program riset iptek tidak hanya yang bersifat kompetitif yang akan melibatkan sekitar 18.000 peneliti untuk menghasilkan karya ilmiah yang akan masuk jurnal internasional, tetapi diperlukan juga riset yang bersifat penugasan dengan tema riset yang telah ditentukan.
”Melalui Riset Penugasan ini dapat mempercepat dan memperjelas tahapan proses hilirisasi ke industri,” kata Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati di Jakarta, Rabu (17/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Program Riset Penugasan bersifat topdown atau ditetapkan seperti Program Riset Unggulan Strategis Nasional yang pernah dilaksanakan pada periode lalu. Tahun ini, Riset Penugasan mulai dengan tiga fokus iptek, yaitu pangan, kesehatan, dan energi. ”Pemilihan tiga dari 10 fokus iptek karena kendala anggaran pemerintah,” ujar Dimyati.
Dalam pelaksanaan Riset Penugasan, Kemristek dan Dikti telah meninjau capaian yang dihasilkan lembaga riset dan perguruan tinggi. Pemilihannya didasarkan pada hasil riset yang ”matang” dan menonjol.
Dari tiga bidang fokus itu, ada beberapa tema riset yang ditetapkan. Untuk bidang kesehatan dipilih sel punca (stem cell). Risetnya akan dilaksanakan konsorsium lembaga riset yang dipimpin Universitas Indonesia. Untuk bidang energi dipilih mobil listrik yang dikoordinasi ITS. Sementara riset pangan strategis di bawah koordinasi Universitas Gadjah Mada. Dana yang dialokasikan untuk setiap tema riset Rp 100 miliar-Rp 200 miliar.
Kontribusi industri
Secara terpisah, Dirjen Penguatan Inovasi Kemristek dan Dikti Jumain Appe mengatakan, kontribusi sektor industri menurun. Karena itu, pihaknya mendorong inovasi industri. Industri mesti diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah produk inovasi.
Jumain menilai PDB Indonesia sebagian besar didukung oleh konsumsi dalam negeri. ”Jadi, pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai 4 persen karena konsumsi meningkat akibat jumlah penduduknya yang banyak. Jika ini dibiarkan, kita akan berada di level ekonomi yang menengah terus. Kita akan terjebak pada middle income (negara berpendapatan menengah),” katanya.
Karena itu, Indonesia harus meningkatkan produksi. Salah satunya dengan meningkatkan jumlah wirausaha baru. Itulah yang dilakukan Kemristek dan Dikti dengan program insentif bagi perusahaan pemula berbasis teknologi. Saat ini jumlah teknopreneur atau pengusaha di Indonesia di bawah 1 persen dari jumlah penduduk, sementara di negera maju 5 persen dari jumlah penduduk. (YUN)
Sumber: Kompas, 19 Januari 2018