Sejak malam hingga pagi hari, hujan terus mengguyur Timika, ibu kota Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Namun, itu tak menghalangi para petugas dari Malaria Center untuk bekerja. Di pagi yang basah karena gerimis itu, mereka tetap bekerja mengunjungi rumah penduduk.
Mereka akan menyemprot dinding rumah warga dengan insektisida atau yang disebut Indoor Residual Spraying (IRS) sebagai salah satu langkah pengendalian vektor malaria, yakni nyamuk Anopheles.
Malaria Center merupakan wadah hasil kerja sama PT Freeport Indonesia dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Mimika, dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro. Malaria Center bertugas mengendalikan kasus malaria di masyarakat. Itu dilakukan mengingat selama ini Papua termasuk area endemis malaria.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saat petugas melaksanakan penyemprotan, sejumlah petugas lain mengambil sampel darah warga, melayani pengobatan, dan memberi edukasi kesehatan kepada masyarakat. Petugas juga menjalankan pencarian kasus malaria secara aktif.
”Kesadaran masyarakat di sini belum terbangun dengan baik. Fasilitas kesehatan juga terbatas. Itu sebabnya kami terus melakukan edukasi. Sekitar 93 persen rumah di Timika sudah kami kunjungi,” kata Agus Karambe, Koordinator Malaria Center, beberapa waktu lalu.
Penolakan warga
Meski tak memungut biaya, penyemprotan tak selalu mulus dilakukan. Ada saja pemilik rumah yang menolak dengan alasan di rumahnya ada bayi atau orang lanjut usia, pemilik rumah makan, juga kios. Malah ada yang minta bayaran kepada petugas yang akan menyemprot.
Selain penyemprotan dan pengobatan, tim Malaria Center membagikan kelambu kepada warga. Menjelang akhir 2017, jumlah kelambu yang didistribusikan mencapai 22.000 buah. Kelambu yang dibagikan kadang ada yang dipakai untuk menjaring ikan, digunakan di kandang ayam, ataupun di kebun.
Agar warga lebih menghargai dan menggunakan kelambu sebagaimana fungsinya, tim Malaria Center melakukan barter atau menukar kelambu dengan berbagai jenis barang mulai dari tebu, ubi, hingga sayuran.
Sejak Komando Pembasmian Malaria dibentuk pada 1959 oleh Presiden Soekarno hingga kini, penanggulangan malaria belum tuntas. Saat ini, 80 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria rendah hingga tinggi.
Malaria adalah penyakit yang disebabkan plasmodium, makhluk hidup bersel satu yang termasuk golongan protozoa. Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengandung plasmodium di dalam tubuhnya. Gejala ketika terkena malaria adalah demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, ataupun muntah.
Angka kesakitan malaria di satu daerah ditentukan dengan Annual Parasite Incidence (API) yang merupakan jumlah kasus malaria per 1.000 penduduk dalam setahun. Status eliminasi dicapai suatu daerah jika angka API kurang dari 1, kasus positif berdasarkan konfirmasi laboratorium kurang dari 5 persen, dan tak ada lagi penularan tiga tahun berturut-turut. Saat ini baru DKI Jakarta dan Bali yang semua kabupaten atau kotanya berstatus eliminasi malaria.
Di Indonesia, angka API tahun 2011 hingga 2016 terus menurun, yakni 1,75 menjadi 0,84. Meski demikian, masih ada 167 dari 514 kabupaten atau kota (52 persen populasi) dengan endemisitas rendah sampai tinggi yang belum bebas malaria. Mayoritas daerah itu berada di kawasan timur Indonesia, yakni Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara.
Target eliminasi
Direktur Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Vensya Sitohang mengatakan, pemerintah menargetkan API di semua kabupaten atau kota di bawah 5 per 1.000 jiwa tahun 2020, sehingga pada 2025 status eliminasi tingkat kabupaten atau kota bisa tercapai. Tahun 2027 target eliminasi malaria tingkat provinsi, dan tahun 2030 status bebas malaria secara nasional (Kompas 17/4/2017).
Cita-cita mencapai status eliminasi tak mudah dilakukan. Ada saja tantangan yang harus dihadapi. Dalam Laporan Malaria Global 2017, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, dibandingkan tahun sebelumnya, pengendalian malaria pada 2017 tak menunjukkan kemajuan berarti. Diperkirakan, ada 5 juta kasus baru malaria di dunia tahun 2016. Sama dengan tahun 2016, kematian akibat malaria stagnan pada angka 445.000 jiwa dalam setahun.
Padahal, WHO menargetkan penurunan insiden dan kematian akibat malaria minimal 40 persen pada tahun 2020. Laporan Malaria Global 2017 menyiratkan, dunia jauh dari arah itu.
”Kita sekarang berada pada titik balik. Tanpa tindakan nyata, kita akan semakin mundur dan kian jauh dari target global tahun 2020,” tulis Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam laporan itu.–ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 23 Januari 2018