Sektor kesehatan dan finansial dinilai paling rentan terpapar serangan siber. Padahal, kedua sektor tersebut sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Untuk itu, sistem keamanan siber harus diperkuat dengan dukungan regulasi, anggaran, serta tenaga ahli yang kompeten.
Presiden untuk Cisco Asia Tenggara Naveen Menon mengatakan, sektor finansial dan kesehatan saat ini dinilai menjadi sektor yang paling banyak terpengaruh digitalisasi. Namun, upaya keamanan siber yang dibangun dalam kedua sektor tersebut masih minim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Transformasi digital terjadi di berbagai sektor sehingga semakin rentan terpapar serangan siber. Di Indonesia, sektor-sektor yang paling berisiko terkena serangan siber, seperti finansial dan layanan kesehatan,” ujarnya seusai jumpa media Cisco and A&T Kearney “Darurat Keamanan Siber di Asia Tenggara”, Selasa (23/1) di Jakarta.
Di Indonesia, sektor-sektor yang paling berisiko terkena serangan siber, seperti finansial dan layanan kesehatan.
Ia mengatakan, untuk transaksi perbankan misalnya, sudah banyak masyarakat yang melakukan transaksi dalam jaringan. Jika ada serangan, aktivitas masyarakat pun akan terganggu dan berdampak pada kegiatan ekonomi.
Selain itu, bisnis perusahaan pun akan menurun karena kurangnya kepercayaan nasabah yang timbul karena gangguan yang dialami.
Berdasarkan data Indonesian Security Incident Response Team on the Internet Infrastructure /Coordinator Center (Id-SIRTII/CC) pada Januari—November 2017 tercatat terjadi 205.503.159 serangan siber di Indonesia.
Di antara semua serangan siber terbesar, serangan malware WannaCry pada Mei 2017 memengaruhi 12 institusi di Indonesia di berbagai sektor, seperti kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja menyampaikan, sektor lain yang juga rentan terhadap serangan siber adalah transportasi serta minyak dan gas.
Menurutnya, hampir semua aspek kehidupan masyarakat saat ini sudah terkoneksi dengan internet sehingga rentan dengan serangan siber.
“Saat ini serangan siber yang masih banyak diperhatikan sebatas hoaks atau pun penipuan media sosial. Padahal, keamanan siber itu bukan sekadar itu, namun mencakup infrastruktur kritis, diantaranya pada sektor transportasi, kesehatan, migas, dan finansial,” katanya.
Pada sektor transportasi, Ardi menjelaskan, penggunaan kereta rel listrik (KRL) dan kereta api ringan (LRT) sudah terkoneksi dengan internet. Pengaturan beban lalu lintas kereta pun sudah dikendalikan secara komputerisasi.
Apabila keamanan serangan siber tidak diperkuat, ekonomi negara dapat terganggu dan berdampak pada keamanan sosial bangsa Indonesia.
Selain itu, hampir semua produksi minyak dan gas bumi di Indonesia juga sdah dikendalikan secara komputerisasi. Apabila tidak dijaga secara serius dan mendapatkan serangan dari luar dapat menimbulkan kekacauan negara.
Apabila keamanan serangan siber tidak diperkuat, ekonomi negara dapat terganggu dan berdampak pada keamanan sosial bangsa Indonesia.
Ardi menyampaikan, permasalahan keamanan dan ketahanan siber bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha saja, namun masyarakat juga diharapkan bisa lebih sadar akan teknologi informasi.
Ketika seseorang sudah terhubung oleh internet, maka dirinya secara tidak langsung sudah terhubung dengan dunia luar.
“Masyarakat harus mengerti bahayanya ketika terhubung dengan internet. Itu berarti dengan mudah informasi yang disimpan bisa tersebar sehingga berdampak pada gangguan privasi,” ujarnya.
Terancam
Naveen menyampaikan, tidak hanya Indonesia saja yang perlu meningkatkan sistem keamanan siber, tetapi juga negara lain di Asia Tenggara. Menurutnya, kawasan Asia Tenggara menjadi target utama dari serangan siber.
“Peningkatan aktivitas perdagangan, arus kapital, dan konektivitas siber di seluruh kawasan Asia Tenggara memicu risiko ancaman siber yang akan semakin kompleks di masa depan. Tantangan keamanan siber pun semakin besar untuk dihadapi,” katanya.
Peningkatan aktivitas perdagangan, arus kapital, dan konektivitas siber di seluruh kawasan Asia Tenggara memicu risiko ancaman siber yang akan semakin kompleks di masa depan.
Beberapa faktor yang berpengaruh pada kerentanan serangan siber negara di Asia Tenggara antara lain, tindakan pengawasan kebijakan yang rendah, kekurangan keterampilan pada tenaga ahli, kompleksitas operasional, kurangnya investasi yang dibutuhkan secara signifikan, serta meningkatnya risiko sistematik karena konektivitas yang semakin berkembang.
“Akibat dari beberapa faktor tersebut, hampir 1.000 perusahaan di Asia Tenggara bisa mengalami kerugian hingga 750 miliar dollar AS,” ujar Naveen.
Manager Communications, Media, and Technology Practice A&T Kearney, Germaine Hoe menambahkan, dengan perkembangan digital yang dialami oleh negara di Asia Tenggara, ancaman risiko digital yang dihadapi pun semakin meningkat.
Meski begitu, negara-negara di Asia Tenggara justru hanya menghabiskan dana yang relatif kecil untuk keamanan siber.
“Negara di Asia Tenggara saat ini hanya menghabiskan dana sebesar 0,07 persen dari Produk Domestik Bruto untuk tindakan keamanan di dunia maya. Untuk itu, negara di Asia Tenggara harus meningkatkan pengeluaran antara 0,35 persen hingga 0,61 persen dari PDB tahun 2017 agar sejajar dengan negara-negara terbaik di kelasnya,” katanya.
Negara di Asia Tenggara perlu mengeluarkan anggaran secara kolektif sebesar 171 miliar dollar AS untuk memaksimalkan keamanan siber di negaranya.
Selain itu, Germaine juga mengatakan, negara di Asia Tenggara perlu mengeluarkan anggaran secara kolektif sebesar 171 miliar dollar AS untuk memaksimalkan keamanan siber di negaranya. Untuk Indonesia sendiri, total pengeluaran selama tahun 2017-2025 diperkirakan mencapai 62 dollar AS.
Managing Director Global Security Sales Organization Asia Pasific and Japan Cisco, Stephen Dane menyampaikan, sektor swasta juga harus mulai serius membangun keamanan siber sebagai isu bisnis.
Isu ini harus ditangani lintas sektor kepentingan, mulai dari manajerial, keuangan, dan sumber daya manusia, sehingga tidak hanya melihat sektor teknologi informasi saja.
“Keberhasilan suatu negara dalam digitalisasi bergantung pula dengan kemampuannya dalam memerangi ancaman siber. Pemangku kepentingan sangat penting untuk berperan membangun keamanan siber, termasuk mengembangkan orang yang ahli dalam keamanan siber,” ujarnya. (DD04)
Sumber: Kompas, 24 Januari 2018