Catatan Iptek
Kenaikan harga beras diikuti dengan keputusan impor beras 500.000 ton adalah alarm rapuhnya ketahanan pangan, sekaligus cermin kegagalan konsep pangan nasional dengan swasembada beras sebagai tolok ukur.
Padahal, padi yang menghasilkan beras hanyalah satu dari beragam jenis tanaman pangan yang tumbuh di negeri ini. Bahkan, dalam hikayat pangan Nusantara, padi tergolong tanaman pendatang yang baru belakangan kita konsumsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padi—termasuk genus Oryza—pertama kali didomestifikasi di China dan India 10.000 tahun lalu. China kemudian menyebarkan padi ke Jepang, Korea, dan Amerika Latin. India menyebarkan padi ke daratan Asia Tenggara dan kemudian Indonesia dan Malaysia 2000-1400 tahun SM (Chang, 1983).
Jauh sebelum mengenal padi, masyarakat modern (Homo sapiens) pertama penghuni Nusantara mengandalkan makanan dari hutan: umbi-umbian, pisang, sagu, selain binatang buruan. Masyarakat Papua, kelompok migran awal di Nusantara 50.000 tahun lalu, masih mengonsumsi aneka jenis non-beras ini.
ERWIN EDHI PRASETYA–Petani memanen padi di Desa Dibal, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (11/1/2017).
Demikian pula sebagian masyarakat di Kepulauan Maluku dan Maluku Utara. Di bagian barat Indonesia, masyarakat tradisional Kepulauan Mentawai juga masih mengonsumsi sagu, talas, dan pisang. Jejak pangan non-beras ini juga masih dijumpai di Sulawesi, dengan variasi makanan dari sagu, dari kapurung sagu di Palopo dan Luwu, hingga tabaro dange, Sulawesi Tengah.
Namun, keragaman bahan pangan lokal ini semakin terdesak oleh ekspansi beras. Beras dianggap sebagai bahan makanan kelas atas. Ekspansi beras sebagai sumber pangan utama bisa dilihat dari jejak interaksi kerajaan-kerajaan Nusantara masa lalu dengan India. Dalam hal ini, Jawa yang paling terpapar.
Dalam kasus di Mentawai, yang cenderung jauh dari pengaruh India, upaya mengubah pola makan masyarakat tradisional dari sagu ke beras baru terjadi tahun 1920-an, saat misionaris Jerman, Borger, mengajak masyarakat Siberut menanam padi.
Setelah Indonesia merdeka, rezim yang bias Jawa mengampanyekan padi lebih masif lagi. Pada 1970-an, pemerintah mencanangkan program ”pengentasan warga pedalaman dari kemiskinan” dengan memaksa warga Mentawai pindah ke pesisir dan mewajibkan setiap calon pengantin menanam padi. Beras perlahan menjadi makanan pokok meski di pedalaman dan orang-orang tua masih mengonsumsi sagu, taro, dan pisang.
Program berlanjut hingga saat ini. Konsumsi beras menjadi tolok ukur ketahanan pangan nasional. Bahkan, daerah-daerah penghasil sagu pun digelontor dengan beras miskin.
Keberagaman pangan
Kini, Indonesia jadi negara pengonsumsi beras terbesar dunia setelah China dan India. Namun, dari nilai konsumsi beras per kapita, Indonesia yang terbesar. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan International Rice Research Institute, konsumsi beras di Indonesia 139 kilogram (kg) per orang per tahun pada 2008, dan kini 160 kg per orang per tahun.
Padahal, tren negara-negara lain pengonsumsi beras justru menurun. Misalnya, China tinggal 100 kg per orang per tahun dan India 80 kg per orang per tahun. Malaysia pun hanya 80 kg per orang per tahun dan Jepang 60 kg per orang per tahun. Konsumsi beras turun karena jenis makanan makin bervariasi.
Selain pertambahan penduduk, tren kenaikan konsumsi beras per kapita di Indonesia juga disumbang oleh transisi masyarakat pemakan sagu ke nasi. Mereka butuh asupan nasi lebih banyak karena perbedaan indeks glikemik sagu dan nasi. Indeks ini mengukur seberapa cepat glukosa dilepaskan ke aliran darah setelah makan. Makanan dengan indeks glikemik rendah membuat orang merasa kenyang lebih lama.
Sagu punya indeks glikemik rendah sehingga lama dicerna ketimbang nasi. Indeks glikemik nasi di atas 70 persen, sagu hanya 20 persen, dan talas 50 persen. Indeks glikemik nasi yang amat tinggi cepat meningkatkan kadar gula darah, memicu diabetes dan berbagai penyakit terkait metabolisme lainnya.
Selain persoalan kesehatan, peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi beras per kapita meningkatkan pula kebutuhan beras, padahal konversi sawah di Jawa dan Bali semakin masif. Untuk menopang defisit lahan di Jawa dan Bali, pemerintah mengekstensifikasikan padi ke Papua, terutama Merauke, bahkan juga pulau-pulau kecil di Maluku hingga Mentawai.
Pencetakan sawah-sawah baru di pusat-pusat masyarakat pengonsumi non-beras jadi masalah baru karena mempercepat munculnya pengonsumsi beras baru. Selain konsumsi, masalah juga terjadi pada level produksi yang tidak akan mudah dilakukan masyarakat tradisional, seperti Papua atau Mentawai.
Berbeda dengan sagu, taro, ataupun pisang yang bisa tumbuh di rawa-rawa atau hutan nyaris tanpa dirawat, padi perlu lahan terbuka dan perawatan intensif. Menurut riset Gerard Persoon (1992), satu jam kerja orang Mentawai menghasilkan 2,6 kg sagu. Dalam kurun waktu sama, beras yang dihasilkan hanya 0,6 kg.
Belajar dari masa lalu, Indonesia harus mengembangkan keberagaman pangan. Candu beras bisa menciptakan bencana kekurangan pangan di masa depan.–AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 17 Januari 2018