Restorasi gambut di 31 konsesi hutan tanaman industri seluas 1,1 juta hektar mulai digarap tahun ini hingga 2026. Langkah ini akan mengembalikan 717.583 ha hutan gambut yang berfungsi lindung.
Beberapa waktu mendatang ada 87 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang menggarap restorasi. Perusahaan-perusahaan ini mengelola 2.443.648 ha hutan gambut yang terdiri dari 1.375.548 ha fungsi lindung dan 1.068.100 ha fungsi budidaya.
”Sejak awal sampai akhir Desember 2017, setiap hari dua perusahaan diselesaikan dokumen rencana pemulihan ekosistem gambutnya,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan MR Karliansyah, Kamis (11/1), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dokumen rencana pemulihan ekosistem gambut ini mulai disusun setelah perusahaan menyelesaikan revisi rencana kerja usaha (RKU). Itu menyesuaikan fungsi ekosistem gambut di peta kesatuan hidrologis gambut.
Karliansyah menyebutkan ada 31 perusahaan yang telah disetujui dokumen rencana pemulihannya dengan luas lahan 1.105.125 ha, terdiri dari 717.583 ha fungsi lindung dan 387.542 ha fungsi budidaya. Di lokasi ini, pengelola konsesi akan membangun 3.943 unit sekat kanal dan merevegetasi hutan seluas 518.418 ha. Itu belum termasuk pemasangan titik penaatan tinggi muka air tanah dan stasiun pemantauan curah hujan.
Tiga dari 31 perusahaan, yaitu Bumi Andalas Permai, Bumi Mekar Hijau (BMH), dan SBA Woods Industries (penyuplai Asia Pulp and Paper Sinar Mas), memakai peta 1:50.000 sebagai acuan RKU dan dokumen pemulihan. Peta ini lebih rinci dari peta KHG (1:250.000).
Hendri Tanjung, manajemen di PT Satria Perkasa Agung yang mengelola konsesi HTI di Riau, mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan revisi RKU pada 14 November 2017. Dari tiga blok konsesi, satu blok di antaranya, yakni Blok Bukit Batu, menjadi fungsi lindung gambut.
Blok seluas 25.409 ha ini 32 persen dari luas total konsesi perusahaan. Perusahaan tetap menjalankan pengelolaan ekosistem gambut ini meski diklaim tak pernah muncul titik api di konsesi sejak 2010 hingga 2017.
”Pengelolaan air amat penting melalui pengontrolan water table (tinggi muka air), menjaga kelembaban tanah, mengatur ketersediaan air bagi kebutuhan tanaman, meningkatkan aksesibilitas di lokasi, dan memperlancar transportasi,” ujarnya.
Pemetaan
Suwargana dari manajemen PT BMH, pengelola konsesi di Kabupaten Ogan Komering Ilir, mengatakan punya peta berbasis laser (Lidar) dalam pengelolaan gambut. Itu menghasilkan peta kontur/elevasi yang membagi dalam 100 zona tata air. ”Dengan zonasi ini, kami melaksanakan blocking (kanal), pemasangan instrumen pemantauan,” katanya.
Dari 250.370 ha konsesi BMH, revegetasi dilakukan di lahan seluas 96.398 ha diiringi pemulihan hidrologis lewat pemasangan 818 unit sekat kanal. Itu dikerjakan bertahap hingga 2026.
Namun, pemasangan titik penaatan tinggi muka air tanah terkendala lokasi pemasangan yang tak tepat. Lokasinya berada di area nongambut. ”Kami berkomitmen tetap pasang, tetapi kami mohon solusi KLHK agar dilakukan verifikasi,” ujarnya.
Terkait hal itu, Karliansyah mengatakan, lokasi dan jumlah instrumen penaatan bisa diverifikasi dan direvisi. ”Kalau lokasinya tak sesuai, di luar gambut, bisa direvisi,” katanya.
Ke depan, supervisi dan verifikasi kinerja pengelola konsesi akan dilakukan KLHK bersama Badan Restorasi Gambut jika berada di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut nasional. Ada 2 juta ha lokasi restorasi BRG di area konsesi, kawasan konservasi, dan lahan warga. (ICH)
Sumber: Kompas, 12 Januari 2018