Di bulan terakhir tahun 2017, geliat industri perangkat telekomunikasi masih bergerak tidak kunjung rehat. Produk demi produk baru diluncurkan memanfaatkan momen yang tersisa sebelum 2018 datang. Tahun baru menandai tren-tren baru gawai yang dipengaruhi geliat di tahun sebelumnya.
Salah satunya Luna, sebagai merek yang diusung SK Telecom dari Korea Selatan, meluncurkan G8 pada pertengahan Desember lalu. Janjinya cukup menggoda, yakni ponsel pintar seharga Rp 3,8 juta dengan sistem dalam cip (SoC) Mediatek Helio P25, kapasitas RAM 4 gigabit, dan penyimpanan internal 64 gigabit.
Sebanyak empat lensa kamera dipasang di G8, kamera depan memiliki resolusi 20 megapiksel didampingi lensa lebar yang punya ketajaman 8 megapiksel. Di belakang ada sepasang kamera 13 megapiksel dan kamera sekunder 5 megapiksel yang bisa dipakai untuk menghasilkan foto dengan ruang tajam (depth of field).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Fitur empat lensa juga ditemukan pada Nova 2i yang dirilis Huawei meski komposisi lensa yang dipakai sama, yakni untuk menghasilkan foto dengan hasil latar belakang kabur atau dikenal dengan bokeh.
Bukan kebetulan bila kemudian saat pemaparan produk, yang ditampilkan sebagai pembanding adalah F5 dari Oppo, V7 Plus dari Vivo, dan Nova 2i sendiri. Selain berada di rentang harga yang lebih kurang sama, satu lagi benang merah dari nama-nama itu adalah penggunaan rasio layar 18 : 9 di samping 16 : 9 yang selama ini jamak ditemui.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–G8 merupakan seri ponsel Luna, merek dari Korea, yang menyasar konsumen yang mencari layar lega tetapi tetap nyaman digenggam. G8 menambah panjang daftar ponsel pintar yang bertarung di rasio layar 18 : 9 sebagai alternatif dari rasio 16 : 9 yang sudah marak ditemui.
Rasio layar 18 : 9 atau 2 : 1 memungkinkan ponsel untuk memiliki layar yang lebih besar tanpa membuatnya sulit digenggam. Seperti diketahui, ukuran layar ponsel pintar didapatkan dari garis yang membelah layar menyisakan dua segitiga siku yang sama ukurannya. Dengan teknologi layar yang memungkinkan batas (bezel) yang lebih tipis, rasio layar berbanding badan ponsel akan terus meningkat.
Rasio layar yang baru ini memudahkan pengguna untuk mengonsumsi konten dengan leluasa. Bahkan, salah satu upaya mendorong pemasaran produk membonceng tren permainan genre multiplayer online battle arena (MOBA) dengan kampanye bahwa rasio layar ini memungkinkan untuk mendapatkan wilayah pandang yang luas dibandingkan ponsel dengan rasio layar 16 : 9. Keuntungan strategis diklaim bisa berdampak pada daya saing saat pertandingan.
Beberapa merek ponsel bahkan menggandeng penerbit permainan MOBA dalam promosi produk, seperti dilakukan Vivo bersama Moonton yang mengelola permainan Mobile Legends: Bang Bang. Langkah sama juga dilakukan Oppo yang memanfaatkan permainan Arena of Valor (AOV) untuk mempromosikan F5 mereka.
Tren rasio layar 18 : 9 sebetulnya diawali sejak semester pertama 2017. Samsung memperkenalkan layar seperti itu menggunakan nama Infinity Display karena bisa menyodorkan layar dengan bentang 5,8 inci, begitu pula FullVision Display yang diusung LG saat memperkenalkan G6. Dua perintis rasio layar itu memperkenalkannya sebagai fitur eksklusif untuk menikmati konten.
Dari ponsel premium, rasio layar 18 : 9 kian banyak ditemukan di ponsel kelas menengah. Pada saat yang bersamaan makin banyak ditemui konten yang menggunakan orientasi berdiri (portrait) ketimbang tidur (landscape), misalnya Instagram Story, hingga dukungan dari layanan Youtube untuk video berdiri. Cara menikmati konten itu adalah melalui ponsel dengan rasio layar 18 : 9.
Seperti fitur lensa ganda yang kini menjadi hal lumrah, bisa jadi penggunaan rasio layar 18 : 9 akan menjadi syarat agar ponsel yang diluncurkan tidak ketinggalan zaman.
Jawara lama
Akhir 2017 juga diisi dengan kembalinya merek yang dulu menjadi jawara di Indonesia, yakni Blackberry dan Nokia. Dulu tangguh dengan sistem operasi sendiri, kini mereka mencoba peruntungan di sistem operasi Android.
Blackberry sebetulnya sudah meresmikan kehadiran mereka di Indonesia pada Maret lalu dengan meluncurkan Aurora. PT Blackberry Merah Putih sebagai pemegang hak edar saat itu memutuskan untuk memperkenalkan kembali Blackberry dengan penampilannya seperti ponsel pintar kebanyakan yang mengandalkan layar sentuh.
Akhir November, mereka kembali meluncurkan Keyone yang memiliki ciri khas saat jaya, yakni penggunaan papan tuts fisik. Tidak tanggung-tanggung lagi, mereka mematok harga Rp 9 juta, keputusan yang cukup berani setelah sekian lama absen di pasar.
Sukaca Purwokardjono, Chief Operating Officer BB Merah Putih, menyebut bahwa Keyone memang menyasar pasar yang sangat spesifik (niche). Dia pun optimistis, di mata orang yang membutuhkan produknya atau mereka yang memilih mengetik menggunakan papan tuts dan tenang dengan jaminan keamanan data dari Blackberry, harga tidak akan jadi masalah.
Pada saat yang hampir bersamaan, HMD Global sebagai pemegang lisensi merek Nokia juga menghadirkan ponsel seri Nokia 3, Nokia 5, dan Nokia 6 ke Indonesia. Dengan harga yang terbilang kompetitif, Nokia berupaya menancapkan kembali pengaruh mereka ke benak konsumen.
Kompas berkesempatan mencoba Nokia 3 dan Nokia 6 selama beberapa minggu. Desain dan identitas Nokia menjadi nilai tambah, terutama bagi mereka yang memahami sejarah merek ini. Performa saat dipergunakan cukup nyaman, terlebih dengan tampilan antarmuka yang bersih dan lancar.
Terbilang komposisi yang ideal untuk ponsel seharga Rp 3,3 juta dengan spesifikasi seperti Snapdragon 430, RAM 3 Gb, penyimpanan internal 32Gb, dan layar dengan resolusi 1920 x 1080 piksel.
Yang menjadi catatan adalah keputusan untuk menghadirkan pembaruan perangkat lunak secara beruntun saat pertama kali mengoperasikan ponsel akan mengganggu pengguna karena harus beberapa kali mengunggah file berukuran besar. Meski sudah bisa mendukung sistem operasi yang baru (bukan terbaru), yang cukup mengganggu adalah penggunaan layanan pasar aplikasi di samping Play Store yang selama ini menjadi ciri khas layanan dari Google.
Belum reda keadaan, masih ada Xiaomi yang punya ambisi besar menguasai pasar ponsel Indonesia. Setelah empat tahun masuk ke pasar Indonesia, Xiaomi menjadi merek yang menjual ponsel terbanyak di negara ini, berhasil melampaui Samsung.
”Indonesia akan mengulangi keberhasilan di India dalam waktu yang lebih singkat,” ujar Steven Shi selaku Head of Xiaomi South Pacific Region and Xiaomi Indonesia Country Manager dengan penuh percaya diri.
Peluncuran Redmi 5A di pengujung 2017 benar-benar mengagetkan kompetitor, baik dari China, Korea, maupun dalam negeri. Ponsel pintar tersebut bisa dijual dengan harga Rp 1 juta.
Terbilang mengagetkan karena selama ini persaingan bergeser ke rentang harga Rp 3 juta dengan asumsi daya beli masyarakat sudah meningkat. Persaingan di rentang harga Rp 3 juta-Rp 4 juta dimanfaatkan dengan baik oleh Xiaomi untuk memperkenalkan diri.
Keputusan itu merupakan langkah awal dalam membangun fondasi kepercayaan konsumen di Indonesia terhadap merek Xiaomi. Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah menuntaskan keheranan karena harga jual Redmi 5A bisa lebih rendah dari harga jual global, yakni sekitar Rp 1,3 juta jika dikonversi ke rupiah.
Peristiwa yang berserakan di sepanjang akhir 2017 dipastikan punya kelanjutan di tahun 2018. Demam ponsel dengan rasio layar 18 : 9 akan marak, dan peta persaingan ponsel dalam negeri makin kompleks dengan masuknya pemain baru.
Konsumen pun diuntungkan dengan beragamnya pilihan bagi mereka.
(Didit Putra Erlangga Rahardjo)
Sumber: Kompas, 2 Januari 2018