Orang Buru Berciri Austronesia

- Editor

Senin, 11 Desember 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Butuh Riset Genetika untuk Melihat Kaitan dengan Etnis Lain
Orang Buru di dataran tinggi Rana, Kabupaten Buru, Maluku, memiliki ciri budaya Austronesia. Namun, isolasi geografis membuat mereka memiliki aspek budaya khas yang membedakan dengan masyarakat Indonesia lain. Untuk mengetahui asal-usulnya, perlu riset genetika.

”Dari segi bahasa, orang Buru termasuk penutur Austronesia. Untuk melihat komposisi orang Buru, asal-usul, kaitan dengan etnis lain, harus diteliti genetiknya. Itu dilakukan tahun depan, karena medan dan aksesnya butuh persiapan matang. Kami baru survei,” kata Gludhug Ariyo Purnomo, peneliti pada Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, di Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, Jumat (8/12).

Orang Buru aslinya dari dataran tinggi Danau Rana, tetapi lalu berpisah menjadi 24 soa (marga),” kata Wakil Raja Ragenshaap Leisela, Arif Hentihu, Kamis (7/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebagian orang Buru yang turun di pesisir lalu berbaur dengan para pendatang yang datang bergelombang. Teluk Kayeli pernah jadi pusat kekuasaan Portugis, lalu Belanda, sehingga pengaruhnya kuat. Adapun Masarete dan Leisela pernah jadi wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.

KOMPAS/AHMAD ARIF–Masyarakat Dusun Waegrahe, Desa Waereman, Kecamatan Fenaleisela, Kabupaten Buru, Maluku, tengah membersihkan tepung singkong, Kamis (7/12). Selain sagu dan keladi, singkong juga merupakan makanan pokok masyarakat yang tinggal di dataran tinggi Danau Rana.

Berikutnya ada era Pulau Buru dipakai sebagai pangkalan transit pesawat tempur Jepang yang terlibat dengan pasukan sekutu di Lautan Pasifik. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer (2001) menyebut, saat Jepang pergi, mereka meninggalkan banyak jugun ianfu (perempuan yang diperbudak Jepang) di Pulau Buru.

Pada 1969, Pulau Buru jadi lokasi pengasingan tahanan politik penguasa Orde Baru. Mereka membuka lahan dan tinggal di sekitar Kecamatan Waeapo. Pada 1980-an, banyak transmigran dari Jawa dikirim ke Buru, di lokasi bekas para tahanan politik ini.

Masyarakat yang ada di sekitar dataran tinggi Danau Rana terisolasi, secara genetik kemungkinan belum ada pembauran.

Terisolasi
Masyarakat Buru di dataran tinggi Rana tersebar di sejumlah desa mengelilingi Danau Rana di ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Butuh dua jam dari Namlea menuju ibu kota Kecamatan Fenaleisela untuk mencapai Dusun Waegrahe, Desa Waereman, Kecamatan Febaleisela. Berikutnya, butuh empat jam dengan mobil gardan ganda, melalui hutan, diapit tebing dan jurang. Dari Waegrahe ke Waereman, butuh mendayung dua jam menyeberangi Danau Rana.

”Jalan mobil tembus ke Waegrahe tahun lalu. Sebelumnya, kami berjalan empat hari ke kota kecamatan,” kata Kepala Desa Waereman, Luas Waemese.

Selain isolasi dari akses jalan, warga sekitar Danau Rana juga kuat menjaga adat sehingga dianggap tertutup oleh masyarakat luar. ”Di sini yang punya wilayah dan tanah adalah adat. Tanpa izin masyarakat adat, orang luar tidak boleh masuk ke Danau Rana,” kata Luas.

Porisi atau tetua adat Waegrahe, Hanis Waemese, mengatakan, pembatasan itu untuk melindungi adat mereka. ”Saat saya kecil, orangtua tak mengizinkan kami sekolah. Kini, kami ingin anak- anak sekolah, tetapi beberapa hal kami jaga, seperti Danau Rana tak boleh dikunjungi sembarangan,” ujarnya.

Menurut kajian Rikke Sanggi Jayanti (2014), kepercayaan mayoritas warga Buru di pegunungan menganut animisme atau kepercayaan kepada roh nenek moyang. Data identitas kependudukan mereka kerap ditulis sebagai penganut agama hindu.

Dari aspek bahasa, menurut data Ethnologue (2017), bahasa di Buru dibagi jadi Leisela dan Ambelau. Keduanya dikelompokkan dalam Central-Eastern Malayo-Polynesian yang masuk kelompok penutur Austronesia. Penutur bahasa ini tersebar dari Taiwan, Filipina, Indonesia, sampai Madagaskar. Penyebaran Austronesia diperkirakan terjadi sekitar 5.000 tahun lalu.

Berbeda dengan penutur Austronesia lain di Indonesia, kebudayaan warga di dataran tinggi Rana tidak banyak pengaruh dari luar. Di area itu tidak ada budaya logam atau tradisi menenun karena isolasi. Itu juga terjadi pada penutur Austronesia di Mentawai. (AIK)

Sumber: Kompas, 9 Desember 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 19 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB