Jangan Menjadi Korban Teknologi

- Editor

Selasa, 5 Desember 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Manusia Memaknai Teknologi melalui Nilai
Masyarakat harus mengingat kembali bahwa pada hakikatnya teknologi adalah ciptaan manusia. Oleh karena itu, manusia harus memanfaatkan teknologi secara bijak. Jangan sampai justru membiarkan diri terseret arus perkembangan teknologi.

“Sungguh tidak masuk akal jika manusia menempatkan diri sebagai korban perkembangan teknologi,” kata Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Karlina Supelli ketika memberikan pemaparan kunci dalam Seminar Nasional Humaniora dan Ilmu Sosial di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/11). Seminar ini bertema “Kebudayaan dan Teknologi Digital (Teknokultur)”.

Ia menjabarkan, teknologi merupakan produk kebudayaan. Di dalam perkembangannya, teknologi berpengaruh pada perubahan budaya, misalnya dari analog menjadi digital.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada intinya, menurut Karlina, manusia memberikan makna pada teknologi melalui nilai dan kepercayaan yang mereka anut. Nilai ini tidak diciptakan oleh teknologi, tetapi tumbuh dan berkembang di masyarakat secara turun-temurun. Contohnya adalah nilai perdamaian, kebajikan, dan saling menghormati.

Karlina mengingatkan, teknologi sepenuhnya ialah ciptaan manusia. Tujuannya untuk membantu manusia menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Hendaknya manusia sejak awal dididik untuk memanfaatkan teknologi dengan bijak.

Sepanjang sejarah manusia, kehadiran teknologi baru memang kerap membawa kepanikan di masyarakat. Hal ini karena perkembangan teknologi selalu memberikan akses pada hal-hal yang sebelumnya tidak bisa diraih oleh khalayak awam.

“Akses pada hal-hal baru ini mengakibatkan euforia di masyarakat. Sering kali masyarakat terlena ketika menggunakan teknologi. Mereka melupakan etika dan etiket,” ujar Karlina seusai seminar.

Ia menerangkan, permasalahan yang sering terjadi ialah masyarakat sering menganggap teknologi merupakan suatu kebenaran. Padahal, teknologi merupakan alat dan cara untuk mencapai suatu tujuan.

Miskin pengetahuan
Karlina mengatakan, teknologi memungkinkan manusia mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Namun, informasi bukan pengetahuan. “Pengetahuan ialah kemampuan menyaring, mengolah, menganalisis, dan menyimpulkan informasi,” ujarnya.

Permasalahannya, kata Karlina, masyarakat sering mengira informasi adalah pengetahuan. Akibatnya, proses menelaah dan memverifikasi informasi untuk mencari kebenaran dilewati.

Ia menambahkan, banjir informasi diperparah kondisi penggunaan algoritma dalam media sosial untuk mengumpulkan hal- hal spesifik yang disukai para pemilik akun media sosial. Akibatnya, pemilik akun tersebut setiap kali membuka internet, terutama media sosial, hanya disuguhi topik yang ia sukai.

Hal ini paradoks dengan perkembangan teknologi. Di satu sisi, akses informasi meluas. Namun, di sisi lain, orang hanya dikelilingi dengan informasi yang mereka sukai. Pengetahuan otomatis tidak berkembang.

Justru yang terjadi adalah semakin luas akses, semakin primordial (hanya bergaul dengan komunitas yang memiliki ketertarikan serupa, baik dari sisi etnis, agama dan kepercayaan, maupun ideologi politik) pola pikir masyarakat.

Hal mendasar dalam pendidikan manusia untuk memanfaatkan emosi ialah dengan mengenal berbagai jenis emosi dan cara mengelolanya. Emosi yang tak terkendali tidak akan bisa diekspresikan dengan baik dan berisiko memicu konflik.

Wakil Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta Ratna Dyah Suryaratri dalam paparannya menjelaskan ada lima emosi dasar yang harus diketahui manusia, yaitu bahagia, sedih, marah, malu, dan jijik. “Sistem pendidikan, baik di rumah maupun sekolah, jarang membiasakan anak mengenal jenis emosi yang ia alami dan cara menanggapinya,” ujarnya.

Minimnya pengenalan dan pengelolaan emosi ini berakibat seseorang bersikap reaktif terhadap informasi yang didapat. Bukannya memikirkan alasan ia tidak menyukai informasi tersebut dan mencari keterangan lebih lanjut, justru langsung bersikap agresif, baik secara verbal maupun fisik. Hal ini yang menimbulkan ujaran kebencian, perundungan, dan persekusi di masyarakat. (DNE)

Sumber: Kompas, 28 November 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB