Manusia Memaknai Teknologi melalui Nilai
Masyarakat harus mengingat kembali bahwa pada hakikatnya teknologi adalah ciptaan manusia. Oleh karena itu, manusia harus memanfaatkan teknologi secara bijak. Jangan sampai justru membiarkan diri terseret arus perkembangan teknologi.
“Sungguh tidak masuk akal jika manusia menempatkan diri sebagai korban perkembangan teknologi,” kata Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Karlina Supelli ketika memberikan pemaparan kunci dalam Seminar Nasional Humaniora dan Ilmu Sosial di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Senin (27/11). Seminar ini bertema “Kebudayaan dan Teknologi Digital (Teknokultur)”.
Ia menjabarkan, teknologi merupakan produk kebudayaan. Di dalam perkembangannya, teknologi berpengaruh pada perubahan budaya, misalnya dari analog menjadi digital.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada intinya, menurut Karlina, manusia memberikan makna pada teknologi melalui nilai dan kepercayaan yang mereka anut. Nilai ini tidak diciptakan oleh teknologi, tetapi tumbuh dan berkembang di masyarakat secara turun-temurun. Contohnya adalah nilai perdamaian, kebajikan, dan saling menghormati.
Karlina mengingatkan, teknologi sepenuhnya ialah ciptaan manusia. Tujuannya untuk membantu manusia menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Hendaknya manusia sejak awal dididik untuk memanfaatkan teknologi dengan bijak.
Sepanjang sejarah manusia, kehadiran teknologi baru memang kerap membawa kepanikan di masyarakat. Hal ini karena perkembangan teknologi selalu memberikan akses pada hal-hal yang sebelumnya tidak bisa diraih oleh khalayak awam.
“Akses pada hal-hal baru ini mengakibatkan euforia di masyarakat. Sering kali masyarakat terlena ketika menggunakan teknologi. Mereka melupakan etika dan etiket,” ujar Karlina seusai seminar.
Ia menerangkan, permasalahan yang sering terjadi ialah masyarakat sering menganggap teknologi merupakan suatu kebenaran. Padahal, teknologi merupakan alat dan cara untuk mencapai suatu tujuan.
Miskin pengetahuan
Karlina mengatakan, teknologi memungkinkan manusia mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Namun, informasi bukan pengetahuan. “Pengetahuan ialah kemampuan menyaring, mengolah, menganalisis, dan menyimpulkan informasi,” ujarnya.
Permasalahannya, kata Karlina, masyarakat sering mengira informasi adalah pengetahuan. Akibatnya, proses menelaah dan memverifikasi informasi untuk mencari kebenaran dilewati.
Ia menambahkan, banjir informasi diperparah kondisi penggunaan algoritma dalam media sosial untuk mengumpulkan hal- hal spesifik yang disukai para pemilik akun media sosial. Akibatnya, pemilik akun tersebut setiap kali membuka internet, terutama media sosial, hanya disuguhi topik yang ia sukai.
Hal ini paradoks dengan perkembangan teknologi. Di satu sisi, akses informasi meluas. Namun, di sisi lain, orang hanya dikelilingi dengan informasi yang mereka sukai. Pengetahuan otomatis tidak berkembang.
Justru yang terjadi adalah semakin luas akses, semakin primordial (hanya bergaul dengan komunitas yang memiliki ketertarikan serupa, baik dari sisi etnis, agama dan kepercayaan, maupun ideologi politik) pola pikir masyarakat.
Hal mendasar dalam pendidikan manusia untuk memanfaatkan emosi ialah dengan mengenal berbagai jenis emosi dan cara mengelolanya. Emosi yang tak terkendali tidak akan bisa diekspresikan dengan baik dan berisiko memicu konflik.
Wakil Dekan Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta Ratna Dyah Suryaratri dalam paparannya menjelaskan ada lima emosi dasar yang harus diketahui manusia, yaitu bahagia, sedih, marah, malu, dan jijik. “Sistem pendidikan, baik di rumah maupun sekolah, jarang membiasakan anak mengenal jenis emosi yang ia alami dan cara menanggapinya,” ujarnya.
Minimnya pengenalan dan pengelolaan emosi ini berakibat seseorang bersikap reaktif terhadap informasi yang didapat. Bukannya memikirkan alasan ia tidak menyukai informasi tersebut dan mencari keterangan lebih lanjut, justru langsung bersikap agresif, baik secara verbal maupun fisik. Hal ini yang menimbulkan ujaran kebencian, perundungan, dan persekusi di masyarakat. (DNE)
Sumber: Kompas, 28 November 2017