Para peternak unggas Indonesia, khususnya ayam petelur, sedang khawatir menghadapi ”Penyakit 90-20-60”. Penyakit ini mengganggu produksi telur ayam, membuat turun drastis dari 90 persen menjadi 20-40 persen, lalu naik lagi menjadi 60 persen.
Faktor penurunan produksi sebenarnya banyak, dari formulasi dan kualitas pakan, kondisi lingkungan, hingga serangan penyakit unggas seperti ND (tetelo), Infectious bronchitis (radang trakea), Egg drop syndrome, Encephalomyelitis, dan tembusu. Belum lagi infeksi bakteri, jamur, dan penyebab lainnya.
Para peternak sebenarnya sudah paham mengatasi berbagai penyakit unggas, dengan vaksinasi, pengobatan, dan kebersihan lingkungan. Namun, tidak demikian halnya dengan ”penyakit 90-20-60” ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhir 2016 tersiar kabar penyakit ”90-20-60” disebabkan oleh suatu virus influenza strain H9. Pemerintah pun didesak untuk mengizinkan penggunaan vaksin flu H9 pada unggas. Kabarnya pemerintah sudah menyiapkan pelaksanaan produksi vaksin dan vaksinasi H9.
Jika jadi dilaksanakan, di Indonesia akan ada dua macam vaksin flu burung pada unggas: H5 dan H9. Namun, bersama H7 dan H10, keduanya bersifat zoonosis yang bisa menular kepada manusia atau sebaliknya.
Karakter H9
Virus influenza H9 merupakan salah satu strain virus influenza di dunia. Hingga kini ada lebih dari 170 strain influenza dengan protein permukaan hemaglutinin (HA) 17 macam dan neuraminidase (NA) 10 macam. Karena virus influenza juga memiliki 6-8 macam protein internal, maka setiap strain memiliki berbagai variasi sifat.
Yang mendapat perhatian adalah virus flu burung, yaitu H5N1 dan H7N9, karena bersifat zoonosis dan telah membunuh manusia. Sementara virus H9 terdiri dari strain H9N2 dan H9N9.
H9 dapat diisolasi dan diidentifikasi tahun 1988, dari burung migrasi yang banyak mampir di China. Selanjutnya, tahun 1998 berhasil diisolasi pada babi dan setahun kemudian dapat diisolasi pada manusia.
Penyebaran virus H9 ini terbentang dari Timur Tengah hingga Timur Jauh. Sementara di Indonesia ditemukan pada manusia secara kebetulan sebagai hasil ikutan, 2013-2014, saat tertapis antibodi H9 pada tubuh peternak dan bukan peternak.
Sifat lain virus flu H9 ternyata bisa berikatan dengan reseptor sel 2,3 dan 2,6 alfa, tidak seperti virus flu burung H5 yang dominan reseptor 2,6 alfa. Sementara virus flu musiman H1 dan H3 pada manusia reseptornya dominan 2,6 alfa.
Penularan H9 pada unggas terutama melalui usus besar, artinya melalui jalur pencernaan, di samping juga melalui pernapasan. Mengingat H9N2 ini virus flu tipe manusia (human type flu virus), munculnya virus H9 pada unggas berasal dari manusia, berbeda dengan H5 yang penularannya dari unggas ke manusia.
H9 dikenal sebagai virus flu pendonor terbaik terhadap virus lainnya sehingga virus lain yang menerina donor gennya bisa berubah sifat dan karakternya. Isolasi dan pemurnian H9 dari kuman-kuman lain sangat sulit sehingga diperlukan metode khusus untuk memurnikan.
Contohnya, H7 setelah berkoalisi dengan H9 bisa meloncat ke tubuh manusia dan beberapa korban manusia telah tercatat. Saat ini H7 lebih ditakuti dari H5 sebagai pencetus wabah global.
H9 sebetulnya tergolong virus flu yang tidak ganas (low pathogenic Avian Influenza/LPAI) yang bisa berada dalam tubuh unggas dan manusia.
Hasil riset Qi dan Tim, yang dalam Vet Res (2016), menyimpulkan bahwa penurunan produksi telur oleh H9 diawali oleh proses perbanyakan virus (replikasi) di organ saluran telur (oviduct), tepatnya di bagian organ ”magnum”. Akibatnya, bagian luar (epitel) jaringan organ magnum banyak yang rusak karena keluarnya virus dari sel. Masalahnya, pada sel magnum ada gen penghasil protein yang mengatur transportasi dan metabolisme kalsium untuk membentuk kerabang telur. Penipisan kerabang mencapai 75 persen pada hari ke lima setelah infeksi H9.
Gangguan tersebut diduga jadi penyebab utama penurunan produksi telur. Namun, pada hari ke-6, ke-7, dan seterusnya saluran telur kembali normal. Gambaran penurunan produksi telur oleh H9 ini berbeda dengan penurunan produksi oleh faktor lain.
Vaksinasi virus H5 dan H9
Saat wabah flu burung H5 yang ganas tahun 2003 dan membunuh jutaan unggas bahkan korban manusia, Indonesia telah menetapkan program vaksinasi virus H5 pada unggas.
Pertimbangan program vaksinasi flu burung pada unggas saat itu untuk menyelamatkan usaha peternakan unggas. Program ini dijalankan sampai kini.
Secara ekonomi sebetulnya vaksinasi H5 ini tidak terlalu menguntungkan karena menghambat kesempatan ekspor produk unggas Indonesia. Beberapa negara menghentikan impor unggas dari Indonesia. Akibatnya, peternak seperti tidak punya pintu darurat tatkala suplai dan kebutuhan tidak seimbang.
Program vaksinasi virus H5 menyebabkan putaran virus H5 di lingkungan masih berlangsung dengan struktur virus sangat variatif plus berbagai karakter yang bisa berubah akibat mutasi.
Maka, rencana pelaksanaan vaksinasi H9 memerlukan asumsi yang cermat karena bisa jadi permasalahan kompleks yang penyelesaiannya tidak sederhana.
Beberapa negara telah menggunakan program vaksinasi H9 dengan kontrol sangat ketat, terutama negara yang tidak mengalami permasalahan endemik virus flu burung H5.
Jika semata karena pertimbangan produksi telur turun, maka masih ada faktor lain yang menurunkan produksi telur, bukan semata-mata H9.
Mengingat penurunan produksi akibat infeksi virus H9 bisa kembali normal, maka untuk menahan penurunan produksi telur bisa dilakukan dengan perbaikan formulasi pakan, manajemen lingkungan, dan probiotik.
Pilihan terhadap program vaksinasi H5 dan H9 perlu analisis risiko. Jika vaksinasi flu pada unggas hanya vaksin H5, maka unggas bisa dihindarkan dari kesakitan dan kematian mendadak dalam jumlah tinggi. Namun, risiko terhadap aspek kesehatan masyarakat sering tidak terduga. Risiko lain, memberi peluang negara lain menolak produk unggas Indonesia. Akibatnya, usaha peternakan unggas tidak mempunyai pintu darurat tatkala gejolak suplai dan permintaan tidak seimbang.
Program vaksinasi H5 sudah berlangsung lebih dari 12 tahun. Apakah masih ada celah untuk menghentikannya?
Sebaliknya, jika tidak ada vaksinasi virus H9, risikonya terjadi penurunan produksi telur. Namun, masih ada cara untuk mengatasinya. Apalagi jika H9 yang dibiarkan dalam struktur alamiahnya, dampak masih bisa diperkirakan jika terjadi koalisi dengan virus influenza lain.
Jika rencana vaksinasi H9 tetap dilaksanakan, tentunya bersama dengan program vaksinasi H5, pertanyaannya bagaimana penyebaran virus H9 pada unggas selain ayam yang berpotensi sebagai sumber virus H9.
Vaksinasi, selain akan menimbulkan sensitisasi unggas terhadap H9 dan virus lain, juga memungkinkan H9 bermutasi struktur dan berubah sifat. Bahkan, jika terjadi koalisi H5 dengan H9, manifestasi yang ditimbulkan sulit diprediksi secara baik.
Hasil riset Dr Hoa dan tim dari Universitas Yangzhou, China, yang dimuat di Frontiers in Microbiology tahun 2017, sangat menarik untuk disimak. Bahwa koalisi H5N1 dengan H9N2 genotipe S akan menghasilkan H5 baru yang punya sifat patogenik dan daya bunuh lebih lama.
Hasil riset juga menunjukkan model penularan mengalami perubahan. Virus asli penularan melalui udara, tetapi virus hasil koalisi melalui kontak langsung.
Kesimpulannya, makhluk lain sekecil virus influenza punya tata cara kehidupan tersendiri. Manusia harus bisa memahami karakternya untuk mengurangi risiko kesehatan dan ekonomi.
CA Nidom, Guru Besar Vaksinologi dan Kajian Bioterorisme Universitas Airlangga
Sumber: Kompas, 2 Desember 2017