Jumlah dokter spesialis kardiovaskular di Indonesia masih jauh dari memadai. Terbatasnya jumlah dokter ini menyebabkan pasien harus antre lama demi mendapatkan tindakan. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, kekosongan itu berpotensi diisi dokter dari negara tetangga.
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Ismoyo Sunu mengatakan, Perki kini menaungi sekitar 1.000 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Rasio antara ahli kardiovaskular dan jumlah penduduk Indonesia adalah 1:250.000, sementara di Malaysia rasionya mencapai 1:90.000.
“Makanya, yang menjadi tantangan ke depan yaitu memproduksi dokter spesialis kardiovaskular yang jumlahnya memadai dan berkualitas,” ujar Ismoyo dalam jumpa pers peringatan Hari Ulang Tahun Ke-60 Perki, Jumat (17/11), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal lain yang menjadi prioritas adalah dari 14 rumah sakit rujukan nasional, hanya ada beberapa yang bisa melakukan pembedahan jantung dan pembuluh darah. Kondisi tersebut membuat waktu tunggu bagi pasien penyakit jantung yang harus mendapatkan tindakan medis menjadi berlarut-larut. Merujuk pada pusat nasional penyakit jantung, penderita penyakit jantung pada anak-anak harus menunggu selama dua tahun untuk bisa mendapat penanganan dokter.
Berkaca dari fakta tersebut, Ismoyo menilai peluang bagi ahli kardiovaskular dari luar negeri untuk menginvasi Indonesia teramat besar. Terlebih di era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memungkinkan dokter-dokter asing berpraktik di Indonesia.
Ismoyo mengatakan telah menyiapkan sejumlah strategi agar tidak sembarang ahli kardiovaskular dari luar negeri bisa beroperasi di Indonesia. Pihaknya menunggu terbentuknya tim akreditasi dokter kardiovaskular guna merumuskan regulasi yang memungkinkan dokter Indonesia dan luar negeri bersaing secara elegan.
Wakil Sekretaris Jenderal PP Perki Ario Soeryo Kuncoro mengatakan, dari segi kapabilitas, dokter kardiovaskular Indonesia sesungguhnya tak tertinggal jauh dari dokter kardiovaskular di negara ASEAN. Kekurangannya, menurut dia, di jumlah publikasi ilmiah. “Dari nilai publikasi di Asia Tenggara kita yang paling rendah,” ujarnya. (DD10)
Sumber: Kompas, 18 November 2017