Berawal dari sel tunggal yang kemudian membelah, tubuh manusia terdiri atas rangkaian 37,2 triliun sel yang menakjubkan. Di setiap detik hidup kita, sel-sel tubuh terus bekerja untuk menjaga keseimbangan internal agar semua sistem tubuh bekerja dan berinteraksi memenuhi kebutuhan tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai homeostasis.
Ketika ada infeksi, homeostasis yang terganggu muncul dalam bentuk demam. Untuk mengatasinya, tubuh akan menyesuaikan berbagai proses fisiologisnya sampai mencapai suatu titik ekuilibrium atau keseimbangan baru. Penggunaan obat atau manipulasi fisik sebenarnya lebih untuk memfasilitasi kemampuan tubuh untuk sembuh dari dalam.
Salah satu intervensi yang paling sering digunakan untuk mengatasi infeksi adalah penggunaan antibiotik. Namun, sudah banyak kontroversi terjadi, bahkan di kalangan kesehatan, tentang kapan dan bagaimana penggunaan antibiotik ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apalagi dalam kenyataannya, dalam tubuh manusia juga terdapat bakteri dan segala mikroorganisma baik, yang membantu metabolisme dan menjaga homeostasis. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional tidak hanya memicu resistensi kuman, tetapi juga membunuh mikroba baik dalam tubuh.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan terakhirnya tentang “Antimicrobial Resistance: Global Report on Surveillance” menyebutkan, kasus resistensi antibiotik dunia tertinggi di Asia Tenggara, khususnya infeksi oleh Staphylococcus aureus yang resisten antibiotik Methicillin.
Laman Kementerian Kesehatan yang mengungkap penelitian resistensi mikroba pada tahun 2000-2004 di Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya dan RS Umum Pusat dr Kariadi Semarang menyebutkan sudah ada kuman multiresisten, seperti methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA) dan bakteri penghasil extended spectrum beta-lactamases (ESBL).
Selain itu, ditemukan juga ada 30-80 persen penggunaan antibiotik yang tidak berdasarkan indikasi. Tidaklah mengherankan apabila WHO menyatakan pada tahun 2013 terdapat 480.000 kasus baru multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) di dunia. Artinya, resistensi antimikroba menjadi masalah yang harus segera diselesaikan.
Menurut Ketut Surya Negara dalam “Analisis Implementasi Kebijakan Penggunaan Antibiotika Rasional untuk Mencegah Resistensi Antibiotika di RSUP Sanglah Denpasar: Studi Kasus Infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus” (Jurnal ARSI, Oktober 2014), penggunaan antibiotika yang tidak rasional berdampak panjang. Terjadi resistensi antibiotik, perlu antibiotik jenis baru dengan spektrum lebih luas, peningkatan biaya perawatan, bahkan angka morbiditas dan mortalitas.
Oleh karena itu, imbauan Otoritas Kesehatan Inggris (PHE) agar pasien lebih banyak beristirahat daripada menggunakan antibiotik seperti yang dipublikasikan BBC baru-baru ini perlu dipertimbangkan. Bahkan, di Inggris pun, satu dari lima antibiotik yang diresepkan sebenarnya tidak diperlukan karena tubuh memiliki kemampuan menyembuhkan sendiri.
Menurut Otoritas Kesehatan Inggris tersebut, 5.000 orang di Inggris meninggal setiap tahun karena infeksi kuman kebal obat dan 4 dari 10 kasus infeksi E coli tak bisa ditanggulangi dengan antibiotik lini pertama. Lebih buruk lagi, tahun 2050, infeksi kuman yang sudah resisten obat bisa membunuh lebih banyak dibandingkan kanker apabila kekeliruan paradigma pikir ini tidak segera diatasi. Di Amerika Serikat, misalnya, bahkan sudah ditemukan bakteri yang resisten pada 26 jenis antibiotik.
“Sebenarnya sebagian besar penyakit infeksi akan sembuh dengan istirahat, minum banyak cairan, dan mengonsumsi pereda nyeri. Antibiotik hanya mempersingkat waktu pemulihan,” kata Paul Cosford, Direktur Medik PHE.
Ketut menyarankan pencegahan resistensi antibiotika di rumah sakit dengan penegakan pedoman penggunaan antibiotika yang rasional. Penapisan pasien dan petugas pun perlu dilakukan, sekaligus mengoptimalkan peran tim terkait.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 1 November 2017