Indonesia adalah negara paling plural di Bumi. Terdiri dari lebih 17.000 pulau, lebih dari 600 bahasa, suku, dan berbagai adat kebiasaan membuat kita mudah tertipu oleh bayangan identitas kenegaraan dan kebangsaan yang tunggal. Pengetahuan kita untuk memahami pluralitas bangsa selalu dikaburkan oleh rujukan tunggal: modernisasi dan pembangunan.
Demikianlah Pusat Kajian Representasi Sosial merumuskan kondisi negeri ini. Pusat Kajian Representasi Sosial—berdiri tahun 2008, satu dari tujuh lembaga dalam jejaring internasional—adalah lembaga penelitian yang mengkhususkan diri pada upaya memahami fenomena sosial yang kompleks.
”Representasi sosial memungkinkan kita memahami genesis dari berpikir sosial,” kata Risa Permanadeli, pendiri dan Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Risa, Indonesia sebagai negara dan bangsa plural memiliki varian berpikir yang juga plural. Inilah yang tidak pernah dipertimbangkan dalam politik negara dan berbangsa. Penjajahan Belanda ratusan tahun masih berdampak sampai sekarang: pemerintahan yang mengacu pada negara dan bangsa singular seperti di Eropa. Satu ras, satu agama, satu bahasa. ”Ketika politik pembangunan dijalankan dengan perspektif singular, terjadilah perpecahan bangsa,” ujar Risa.
Singularisme yang berlangsung sepanjang penjajahan Belanda justru dilestarikan sepanjang 32 tahun pemerintahan rezim Orde Baru. Pembagian kawasan administratif di seluruh wilayah Nusantara, misalnya, dibuat berdasarkan struktur pemerintahan model Jawa. Dari dusun, desa, kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten. Banyak contoh sistem pemerintahan adat yang menjadi korban, termasuk Nagari di Sumatera Barat.
Dalam scholar.unand.ac.id disebutkan, Nagari adalah sekumpulan kampung yang dipimpin seorang penghulu dalam sistem kekerabatan dan pemerintahan adat masyarakat Minangkabau. Nagari dibatasi alam, seperti bukit, sungai, dan hutan. Batas-batas ini tak lagi signifikan ketika wilayah dibagi pemerintah secara administratif dan penghulu pun beralih menjadi lurah beserta perangkatnya. Demikian pula halnya di berbagai wilayah lain. Gampong di Aceh, Huta atau Nagori di Tapanuli, Banjar di Bali, dan Wanua di Sulawesi Utara.
Singularisme Orde Baru bahkan mengubah makanan pokok yang semula begitu beragam di Nusantara menjadi satu jenis: beras. Hilanglah sagu, jagung, singkong, dan ubi, yang sebenarnya sangat signifikan untuk mendukung ketahanan pangan. Dampaknya adalah kasus-kasus kekurangan pangan hingga busung lapar terutama di kawasan Indonesia bagian timur, yang tidak mudah ditumbuhi padi sehingga harga beras begitu mahal.
Dalam Pilkada DKI Jakarta yang panas, kerukunan pluralisme dipecah belah dengan politik identitas. Agama dan asal-usul keturunan dikobar-kobarkan, padahal pada kenyataannya, leluhur manusia Indonesia berasal dari empat gelombang migrasi dari Afrika, Asia daratan (meski akarnya juga Afrika), Taiwan, dan terakhir pelaut-pelaut dari Arab, India, dan Eropa via jalur barat serta pelaut Tiongkok dari jalur timur. ”Dari sisi genetik, tidak ada orang asli Indonesia yang berhak mengklaim diri paling pribumi,” kata Herawati Sudoyo, profesor genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (”Mengenali Diri, Menghargai Kebinekaan”, Kompas, 16 Juli 2017).
Herawati menambahkan, justru di migrasi tahap keempat muncul perbedaan identitas karena dibawanya agama-agama baru: Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik. Agama-agama ini bertemu dengan kepercayaan lokal yang sudah ribuan tahun berkembang di Nusantara. Perbedaan semakin tajam karena politik pecah belah kolonial Belanda, termasuk dengan memunculkan konsep pribumi dan pendatang.
Pendekatan singular seperti di atas: desa, beras, agama, dan ras, jelas melahirkan prasangka sosial yang memicu perpecahan, bahkan juga kekerasan. Di sinilah peran perspektif representasi sosial untuk memahami negeri ini, sekaligus menghentikan penggunaan isu-isu singular untuk tujuan jahat.–AGNES ARISTIARINI
Sumber: Kompas, 25 Oktober 2017