Sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri kerap mengabaikan potensi lain di luar kemampuan akademis calon mahasiswa baru. Pola rekrutmen bagi calon mahasiswa berbakat harus dikembangkan untuk menjaga daya saing PTN tetap kompetitif.
“Perguruan tinggi memerlukan fleksibilitas dan keberanian untuk berinovasi dalam pola rekrutmen mahasiswa,” kata Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Panut Mulyono, dalam pidato sambutan upacara wisuda program pascasarjana di Grha Sabha Pramana, Yogyakarta, Kamis (19/10).
Ujian masuk PTN selama ini dilakukan melalui sejumlah skema, antara lain lewat Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, menurut Panut, belum meratanya kualitas pendidikan level menengah di setiap daerah mengakibatkan cara konvensional tersebut mengabaikan potensi lain yang dimiliki oleh calon-calon mahasiswa yang tidak berasal dari sekolah menengah atas berkualitas.
“SNMPTN dan SBMPTN sudah menjadi pola terstruktur dalam pola penerimaan mahasiswa baru. Di luar itu tetap dibutuhkan model seleksi lain untuk merekrut calon mahasiswa yang selama ini terabaikan oleh skema penerimaan konvensional yang ada,” ujarnya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Penerimaan Mahasiswa Baru – Menjelang seleksi penerimaan mahasiswa baru (Penmaba) mandiri Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2017, pedagang kumpulan soal menggelar dagangannya di depan Kampus UNJ, Jakarta, Rabu (21/6).
Terobosan model penjaringan mahasiswa baru juga perlu mengidentifikasi potensi nonakademis dari calon mahasiswa. “Instrumen berbeda terus kita kembangkan untuk menjaring potensi yang selama ini kerap terlewatkan,” katanya.
Dalam proses perkuliahan, kesadaran mahasiswa juga harus segera dibangun untuk menghadapi realitas persaingan yang kelak mereka akan hadapi. Mahasiswa harus mempersiapkan diri untuk bisa bersaing tidak hanya dengan sesama warga negara Indonesia saja namun juga dengan para pekerja terampil yang merupakan warga negara asing.
Krisis keterampilan
Sementara itu, dalam diskusi yang diadakan Center for Digital Society Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, pendiri IDTalent, sebuah platform pencarian kerja digital, Putra Nababan, memprediksi memasuki tahun 2020 nanti Indonesia berpotensi mengalami krisis tenaga kerja lokal yang terampil.
Pasalnya, keterbukaan ekonomi global akan memicu persaingan antara tenaga kerja lokal dengan tenaga kerja asing. Jika angkatan kerja Indonesia tidak segera menyiapkan diri, maka mereka berpotensi hanya akan menjadi tamu di rumah sendiri.
“Seandainya prediksi ini benar maka akan menciptakan jurang yang lebar antara kebutuhan industri untuk menghasilkan produk berkualitas dengan pasokan sumber daya manusia yang minim. Jadi jangan salahkan industri yang mencari pekerja asing untuk memenuhi target mereka,” ujar Putra.
Kekhawatiran wartawan senior ini terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia didukung oleh hasil survey The Global Talent Competitiveness Index yang tahun 2017 ini menempatkan Indonesia di urutan ke-90 dari total 118 negara.
Terdapat tiga unsur kecakapan, lanjut Putra, yang wajib diasah sedini mungkin agar kelak tenaga kerja Indonesia mampu bersaing dengan pekerja asing. Pertama kemampuan berinovasi, kedua kecakapan dalam berkomunikasi, serta ketiga pemahaman terkait situasi dan kondisi pasar global.
Putra juga mengungkapkan pentingnya angkatan kerja Indonesia untuk memiliki gairah dan kegigihan untuk mampu bersaing di dunia kerja. Selain itu, sedini mungkin calon angkatan kerja Indonesia harus memiliki visi yang jelas terhadap profesi yang akan mereka geluti nanti.
“Banyak orang yang ingin melangkah itu selalu memikirkan aspek teknis, padahal visi itu yang paling penting. Urusan teknisnya mudah dikerjakan apabila visi itu sudah jelas,” ujarnya. (DIM)
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2017