Di tahun 2017 ini, Indonesia belum bisa lepas dari ponsel sederhana. Lazim disebut dengan nama “feature phone”, ponsel ini hanya menawarkan fitur dasar berupa panggilan suara dan layanan pesan singkat ketimbang ponsel pintar yang kaya dengan fitur berkat aplikasi dan layanan internet. Di era konektivitas kecepatan tinggi, mengurangi pengguna ponsel sederhana bukanlah urusan yang gampang.
Telkomsel yang menjadi operator telekomunikasi terbesar di Indonesia memiliki 157 juta pelanggan, yang diisi 90 juta pengguna ponsel pintar, serta sisanya terdiri dari 20 juta pengguna feature phone dan 37 juta pengguna ponsel dengan fitur internet dasar dengan konsumsi data yang tidak signifikan.
Apakah masih banyaknya pengguna feature phone semata-mata karena harga saja? Pertanyaan itu terbantahkan jika menengok dua tahun terakhir saat produsen ponsel lokal maupun global bertarung di rentang harga Rp 1 juta. Termasuk Google yang merilis ponsel untuk pengguna pemula ponsel pintar lewat inisiatif Android One bekerja sama dengan tiga merek, yakni Nexian, Mito, dan Evercoss.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Migrasi memang terjadi, tetapi tidak sesignifikan yang diharapkan. Hartadi Novianto, VP Device Sourcing and Management Smartfren, mengungkapkan beberapa temuan soal keengganan pengguna untuk beralih ke ponsel pintar. Harga memang menjadi salah satu penghambat, tetapi daftarnya tidak berhenti di sana.
“Yang pertama adalah daya tahan. Ponsel sederhana dikenal karena daya tahan baterai yang bisa mencapai dua hari lebih. Alasan lainnya adalah tombol tuts numerikal yang lebih akrab di tangan pengguna dan mereka sulit untuk mengetik di layar sentuh,” ujar Hartadi, beberapa waktu lalu.
Isu baterai memang menjadi harga yang harus dibayar dengan melimpahnya layanan yang ditawarkan oleh ponsel pintar, baik yang menggunakan sistem operasi iOS maupun Android. Aplikasi media sosial atau perpesanan yang berjalan di latar belakang, tampilan layar resolusi tinggi, atau kombinasi lain dari sensor lainnya adalah penyebab baterai tidak berumur panjang.
Masalah ini coba diselesaikan dengan menawarkan baterai berkapasitas miliampere per jam (mAh) di atas kebiasaan yang lazim, sekitar 3.500 mAh, dengan harapan bisa memberi usia yang lebih panjang. Contohnya adalah Zenfone 4 Max Pro dari Asus yang ditawarkan dengan spesifikasi baterai 5.000 mAh.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO–Menggeser pola pemakaian gawai di masyarakat yang betah dengan ponsel sederhana (feature phone)-yang hanya bisa dipakai menelepon dan mengirim pesan singkat, terkait dengan bentuk yang ringkas, papan tuts numerikal, dan baterai yang tahan lama-sangat sulit. Celah itu dimanfaatkan sejumlah merek untuk memperkenalkan ponsel sederhana dengan suntikan sistem operasi yang memungkinkan fitur-fitur ponsel pintar tampil layaknya feature phone, yakni tanpa mengorbankan ukuran, papan tuts, atau daya tahan baterai. Itu dilakukan, salah satunya, oleh Smartfren dengan merilis Andromax Prime seharga Rp 350.000 per unit, Kamis (5/10).
Namun, memastikan sebuah ponsel bisa bertahan lama tidak bisa semata-mata ditentukan oleh spesifikasi baterai saja. Yang juga menentukan adalah konsumsi daya dari perangkat keras. Selain itu, kinerja perangkat keras yang optimal juga dipengaruhi kesesuaian dengan perangkat lunak.
Jalan tengah
Beralih ke input pengguna, meninggalkan layar sentuh merupakan pekerjaan yang sulit dilakukan karena sistem operasi modern seperti Android dan iOS mengandalkan sentuhan layar berikut ekosistem aplikasinya. Jalan tengah dengan merilis ponsel dengan layar sentuh sekaligus papan tuts seperti dilakukan Blackberry pernah sukses dilakukan, tetapi tetap saja berbeda karena menggunakan sistem qwerty layaknya di komputer, bukan numerikal yang memiliki 12 tombol saja.
Meninggalkan layar sentuh berarti memilih untuk tidak menggunakan sistem operasi modern, yang juga berarti kehilangan akses terhadap fitur dan aplikasi. Tujuan agar pengguna beralih ke layanan data pun sulit direalisasikan.
Jika pengguna ponsel sederhana tidak bisa dibujuk agar bisa beralih menggunakan data dengan ponsel pintar yang harganya terjangkau, langkah yang bisa dilakukan adalah menghadirkan perangkat telekomunikasi yang desainnya tidak berubah tetapi dengan fitur yang lebih baik. Sebut saja ponsel sederhana dengan modernisasi.
Salah satunya dilakukan Blaupunkt yang merilis seri C berupa ponsel sederhana yang bisa berselancar internet dengan jaringan seluler 3G. Bekerja sama dengan operator telekomunikasi Telkomsel, ponsel ini ditawarkan dengan harga Rp 500.000.
C1 tidak memiliki sistem operasi modern di dalamnya, dengan menu sederhana untuk layanan panggilan telepon, peramban web, dan ditampilkan dengan layar warna. Konten multimedia bisa dinikmati seperti gambar, video, dan musik lewat penyimpanan internal yang terbatas, yakni 64 megabita.
Layanan perpesanan seperti Whatsapp bisa tetap dinikmati oleh pengguna C1, mengandalkan peramban yang terhubung ke layanan versi web. Dengan demikian, para pemilik bisa terhubung ke jaringan sosial tanpa harus memakai ponsel pintar. Strategi serupa dilakukan untuk terhubung ke media sosial, seperti Facebook dan Twitter.
Pelajaran dari India
Operator telekomunikasi Smartfren mengambil pendekatan lebih berani, yakni belajar dari keberhasilan India dalam mendorong migrasi ke layanan data dengan menggunakan ponsel sederhana. Seperti dilakukan operator telekomunikasi Reliance Jio yang memperkenalkan Connect M1 bekerja sama dengan produsen ponsel Lava.
Produk itu berupa ponsel sederhana yang mampu beroperasi di jaringan seluler 4G dan mengandalkan koneksi suara lewat teknologi voice over LTE (VoLTE). Pasar yang sedang mereka incar adalah 160 juta pengguna ponsel sederhana.
Beberapa poin penting dari Connect M1 adalah penggunaan prosesor Spreadtrum yang murah dan mampu beroperasi di jaringan 4G. Kunci vital lainnya adalah implementasi sistem operasi modern Android yang dimodifikasi agar bisa berjalan dengan input tuts numerikal.
Variasi Android bernama MocorDroid memungkinkan ponsel sederhana ini untuk memiliki tampilan antarmuka dan aplikasi Android. Tentu ada harga yang harus dibayar, yakni personalisasi yang sangat dibatasi. Pengguna hanya bisa menggunakan aplikasi yang sudah disediakan sejak awal, dan mereka harus belajar navigasi dengan kursor sebagai pengganti input sentuhan.
Pendekatan tersebut diadopsi Smartfren dengan merilis Andromax Prime, Kamis (5/10). Dijual dengan harga Rp 350.000, ponsel ini berjalan di MocorDroid yang setara Android versi 4.4.4 dengan dukungan jaringan telekomunikasi Smartfren atau frekuensi 850 dan 2.300 megahertz.
Mempertahankan tuts numerikal, Prime memiliki layanan dan aplikasi yang beragam, seperti layanan streaming hingga menjalankan konten multimedia. Sepasang kamera dengan resolusi 2 megapiksel di belakang dan VGA di depan membuat ponsel ini tak ubahnya seperti ponsel pintar.
Yang cukup mengagumkan adalah integrasi dengan aplikasi perpesanan Whatsapp sehingga pengguna bisa membuat panggilan suara dan video dari layanan tersebut. Berbekal sambungan dari Wi-Fi, ponsel ini tetap bisa dipergunakan untuk berkomunikasi jika kesulitan dengan jaringan seluler. Kualitas gambar kamera depan tidak menghalangi pesan yang tersampaikan dalam panggilan video asalkan koneksi internet berjalan lancar.
Fitur sederhana yang ikut diunggulkan adalah mendengarkan radio tanpa harus tersambung dengan penyuara telinga. Smartfren membidik dengan jelas siapa segmen pengguna Prime. Dengan harga yang cukup terjangkau, Smartfren berharap Prime bisa menjadi alasan yang sesuai untuk dilirik. Hartadi mengatakan, mereka punya alur produk ponsel sederhana yang dirilis di masa mendatang, dengan fitur dan spesifikasi lebih baik.
Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Tbk Merza Fachys menyebut, fokus produk merek Andromax kini menyasar ke harga sekitar Rp 1 juta. Dengan implementasi LTE, kini mereka tidak perlu menghadirkan ponsel kelas menengah ataupun premium karena sudah disediakan oleh merek global seperti Samsung atau Lenovo. Salah satu kerja sama yang dilakukan adalah paket bundel Smartfren dengan iPhone 7 saat resmi diluncurkan di Indonesia.
Lain perkara dengan pasar di bawah Rp 1 juta. Ceruk pasar ini sulit dikuasai pemain ponsel pintar karena keengganan pengguna untuk beralih dari ponsel sederhana. Prime bisa jadi sebuah “kuda troya” bagi Smartfren untuk bisa menguasai pasar yang masih terbuka lebar ini.–DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2017