Kurang, Penghargaan pada Sebuah Proses
Di tengah era digitalisasi, godaan dan ambisi tampil di ruang publik secara instan benar-benar menghancurkan nilai-nilai kejujuran, ketulusan, dan ketekunan dalam berproses. Prinsip bahwa sebuah pencapaian harus diawali dari bawah secara bertahap justru ditabrak dan dilanggar.
Fenomena ini tampak dalam kasus ijazah palsu, pembuatan karya tulis yang tidak melalui proses-proses akademik yang benar, dan terakhir yang mengemuka adalah kasus DH, mahasiswa Program S-2 di Technische Universiteit (TU) Delft, Belanda, dalam sejumlah wawancara di media massa. Dalam surat klarifikasi dan permohonan maaf DH tertanggal 7 Oktober 2017, terpapar begitu banyak ketidakkonsistenan antara pernyataan DH di media dan kenyataan hidup sehari-hari DH.
Dalam sebuah wawancara televisi, DH antara lain mengaku sedang menjalani post-doctoral sekaligus menjadi asisten profesor TU Delft. Faktanya, dia adalah mahasiswa doktoral dan bukan asisten profesor TU Delft. DH juga mengaku tengah mendalami penelitian satellite technology and rocket development, padahal topik penelitian doktoralnya yang sebenarnya adalah bidang intelligent systems, khususnya virtual reality.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Budayawan Mudji Sutrisno melihat fenomena ini dipicu iklan dan hasrat untuk tampil di “panggung”. Dengan cara mempromosikan diri melalui media, termasuk media sosial, orang ingin dianggap luar biasa dengan cara berbohong dan menjadi aktor. “Banyak orang ingin menjadi aktor di tengah kondisi di mana dunia digital telah menjadi satu dengan realitas. Kebohongan yang terus-menerus dipacu dan ditancapkan dengan media dan media sosial sampai bawah sadar akhirnya dipercaya sebagai sebuah kebenaran,” katanya, Minggu (8/10) di Jakarta.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Iklan jasa pembuatan tugas akhir skripsi dan tesis menempel di tiang reklame di Perempatan Sagan, Yogyakarta, Sabtu (7/10). Iklan sejenis ini mudah ditemukan di beberapa tempat di kota tersebut dengan sasaran konsumen mahasiswa.
Dalam “panggung” kebohongan, persepsi direproduksi. Bahkan, orang akhirnya menganggap persepsi sama dengan penghargaan terhadap pencapaian dia.
“Ini mengerikan karena persepsi semestinya adalah pesan yang perlu dicek dengan obyektif, tetapi di sini justru ditonjolkan dengan ucapan lidah yang baik- baik, seperti halnya para politisi jahat yang bermanis-manis di panggung televisi tetapi di bawah meja mereka menghabiskan uang rakyat,” katanya.
Nilai proses
Kondisi penuh kepalsuan, kata Mudji, terjadi karena penghayatan dan penghargaan orang terhadap nilai sebuah proses tidak lagi tertanam di benak masyarakat. Banyak orang akhirnya tidak mau melihat dan menghayati hidup sebagai sebuah proses.
“Pendidikan dasar kita harus kembali menanamkan bagaimana perlunya bersikap jujur, memberikan keteladanan dan integritas. Anak-anak kita mesti dilatih untuk mau mengakui kesalahan di tengah hilangnya kultur budaya malu,” ujar Mudji.
Menanggapi fenomena pelanggaran etika akademik tersebut, dosen Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, B Herry Priyono, mengatakan, mereka yang melakukan hal tersebut hanya berlagak logis, tetapi tidak berpikir. “Menjadi logis dan menjadi ilmiah untuk mendapatkan gelar, itu hanya sebagian kecil dari keutamaan yang namanya berpikir,” ujar Herry.
Dia menjelaskan, keutamaan berpikir memiliki empat unsur, yaitu logis, memiliki goodwill (kehendak baik), melakukan keutamaan berpikir dalam rangka demi kebaikan bersama (common good), dan integritas. “Dalam rangka berpikir, orang membutuhkan integritas. Yang terjadi saat ini hanya terdengar logis dan ilmiah. Belum tentu yang ilmiah dan sungguh logis itu merupakan keutamaan berpikir,” katanya.
Secara terpisah, praktisi pendidikan Edy Suandi Hamid mengatakan, kejujuran menjadi tantangan besar bangsa dan bukan hanya dunia akademik.(abk/eln/isw)
Sumber: Kompas, 9 Oktober 2017