Sumber-sumber pencemar baru semakin banyak ditemukan di perairan dan mengancam sumber daya laut. Ratusan senyawa kimia yang sebagian besar dari sisa obat-obatan, kosmetik, dan pestisida yang dibuang ke sungai terbawa ke laut.
“Penelitian saya telah menemukan sekitar 100 senyawa emerging pollutants (polutan baru) di perairan Segara Anakan dan Cilacap,” kata Agung Dhamar Syakti, Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, Kamis (5/10), ketika dihubungi dari Jakarta.
Zat kimia ini kebanyakan berasal dari obat-obatan, seperti dexamphetamine, thioridazine metitepine dan enpiprazole, yang banyak digunakan untuk pengobatan pasien gangguan jiwa. Selain itu juga ditemukan hydromorphone yang dipakai untuk menggantikan morfin dalam mengurangi rasa sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Agung menambahkan, zat kimia yang juga banyak ditemukan adalah azlocillin, salah satu senyawa sejenis antibiotik penisilin yang digunakan pada hewan ternak. “Di lingkungan perairan, keberadaan senyawa pendatang baru akan memengaruhi hormon yang bisa menyebabkan kecacatan organisme laut,” katanya.
Penelitian Schultz yang diterbitkan di jurnal Environmental Pollutio (2013), kata Agung, membuktikan dampak polutan ini menyebabkan munculnya fenomena aneh berupa perubahan sel dan organ seksual pada beberapa jenis ikan dan kerang.
Teluk Jakarta
Pencemaran senyawa kimia obat-obatan juga ditemukan di Teluk Jakarta. Peneliti Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Dwiyitno, mengatakan, residu obat yang banyak ditemukan di Teluk Jakarta adalah pereda nyeri dan antiinflamasi.
Penelitian bersama Dwiyitno dengan Dsikowitzky dari Universitas Aachen, Jerman, bersama sejumlah peneliti lain pada 2016 juga menemukan tiga jenis pestisida di Teluk Jakarta, yaitu organofosfat klorpirifos, karbamat karbofuran, dan isoprokarbon. Ketiga jenis pestisida ini biasanya digunakan untuk pertanian padi.
Menurut Agung, pencemaran zat-zat kimia ini kebanyakan berasal dari buangan industri, limbah domestik, serta sektor pertanian dan perikanan. “Ketidakadaan informasi dan fasilitas untuk mengelola limbah produk farmasi setelah pembelian semakin memperburuk keadaan. Banyak sisa obat biasanya dibuang begitu saja bersama limbah rumah tangga dan akhirnya sampai ke laut juga,” katanya.
Kepala Subdit Inventarisasi dan Mutu Laut, Direktorat Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Heni Agustina mengatakan sejauh ini belum memantau pencemaran residu obat-obatan di laut.
“Pemantauannya tidak mudah karena belum ada laboratorium yang terakreditasi untuk parameter tersebut di Indonesia. Untuk monitoring, kami juga sangat bergantung pada RPJM. Hanya lokasi prioritas yang mendapat anggaran,” katanya. (AIK)
Sumber: Kompas, 6 Oktober 2017