Manisnya Petani “Berteman” Teknologi

- Editor

Rabu, 19 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kaya sumber daya alam tak lantas membuat petani bangsa ini benar-benar bahagia. Penerapan teknologi yang dilakukan oleh para petani diharapkan bisa menjadi jembatan kesejahteraan mereka.

Jegreg…jegreg…jegreg mmPompa air itu bekerja setelah tali engkolnya ditarik Ahmad Naufal (32). Air mengalir deras menuju parit-parit yang ditanami beragam sayuran. Ragam inovasi yang ia rintis memberi nikmat bertani.

Pompa air itu jadi bukti ketangguhan Naufal. Pompa milik petani asal Desa Sambilawang, Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Banten, itu hanya butuh sedikit bahan bakar minyak untuk menghidupkan mesin. Setelah itu, pompa bekerja menggunakan elpiji.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Ada saluran udara yang disambungkan dengan regulator elpiji untuk menyesuaikan kebutuhan gasnya,” kata Naufal, awal Agustus lalu.

Pompa air, kata Naufal, jadi komponen penting bagi lahan seluas 1,4 hektar miliknya. Di Waringinkurung, air tak mudah didapat terutama saat kemarau. Butuh pompa dan selang sepanjang 20 meter, berdiameter 6 sentimeter untuk mengambil air dari sumur buatan. Hasilnya, saat banyak petani di sekitarnya terimbas kekeringan, Naufal bisa terus menanam.

“Selain lebih efektif, pompa ini juga hemat biaya,” ujar lulusan SMK Yabhinka, Kota Cilegon, Banten, itu.

Dia membandingkan rupiah yang harus dikeluarkan. Dalam sehari, ia hanya mengeluarkan biaya Rp 22.000 untuk lahan seluas 1.500 meter persegi. Biayanya melonjak hingga dua kali lipat jika menggunakan pompa berbahan bakar minyak.

Pompa bukan satu-satunya aplikasi teknologi yang digunakan Naufal. Salah satunya adalah penggunaan mulsa atau plastik pelapis lahan. Bagian atas plastik berkelir perak dan di bawahnya berwarna hitam. Warna perak digunakan untuk memantulkan cahaya. Hama yang biasanya hinggap di bawah daun menjadi tidak nyaman.

“Cahaya matahari yang dipantulkan membuat hama kepanasan dan pergi,” ujarnya.

Meski jamak digunakan petani, Naufal mengatakan, mulsa belum jadi metode. Petani di sekitarnya enggan mengeluarkan biaya Rp 4 juta untuk membeli mulsa. Padahal, hasil panen melimpah yang didapat telah menjadi bukti nyata. Panen di lahan seluas 5.000 meter persegi miliknya, misalnya. Panen kacang panjang pada Juli 2017, ia mendapat 4 ton atau dua kali lipat lebih banyak daripada lahan dengan luas sama tanpa mulsa.

Naufal tidak sendirian. Nur Agis (28) juga memaksimalkan lahan pertaniannya memanfaatkan teknologi. Pemilik Jawara Banten Farm itu memadukan pertanian yang terintegrasi dengan peternakan. Pupuk diambil dari kotoran ternak, sedangkan pakan ternak diambil dari limbah pertanian. Karena itu, Agis bisa menghemat biaya pupuk dan pakan ternak.

“Kalau pengeluaran bisa diturunkan, tentu pemasukan meningkat karena ada penghematan,” kata Agis yang mulai bertani sejak 2013.

Di Jawara Banten Farm, dengan luas lahan sekitar 3.000 meter persegi, terlihat kandang kambing dan kebun dengan berbagai tanaman, seperti pepaya, pisang, dan mangga. Ada 80 ekor kambing dipelihara di sana.

Bergantung Impor
Pemanfaatan teknologi memang jadi masalah besar bagi petani Indonesia. Keberadaannya kerap jadi makhluk asing yang tak dikenal, apalagi disentuh, meski sudah bertebaran dan terbukti memberi hasil. Tak hanya petani sayur atau padi, petani garam dan nelayan juga kadang bingung dan enggan menggunakannya. Keluhan biaya dan enggan belajar lebih dulu terdengar sebelum mencoba.

Akibatnya, metode pertanian yang digunakan tak berkembang. Warisan cara bertani kuno masih digunakan di zaman yang sudah serba digital. Tak heran bila masalah gagal panen, serangan hama, dan menyalahkan alam membuat petani sulit sejahtera. Terakhir, petani garam kena batunya. Terik matahari yang diharapkan datang tak kunjung bersinar. Tak hanya menggagalkan panen dan membuat perusahaan pengolahan garam tutup sementara, negara maritim ini kembali bergantung pada impor dari Australia.

Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung Buchari mengatakan, sudah saatnya teknologi diaplikasikan untuk beragam komoditas petani. Jika hanya berharap cuaca berpihak pada manusia, jelas akan rentan dan tak akan menghasilkan apa-apa.

“Petani di China dan Australia sudah terbiasa menggunakan teknologi evaporizer untuk menguapkan air laut tanpa bantuan matahari. Pemerintah bisa membantu petani untuk mewujudkan hal itu,” katanya.

Mau belajar
Meski belum ideal, peran pemerintah terlihat di Kampung Sutam, Desa Sumbersari, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Ada tiga traktor panen diberikan kepada petani. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyerahkannya langsung kepada perwakilan petani.

Amran mengklaim kehadiran traktor ini akan memudahkan petani. Panen bisa dilakukan dengan cepat dengan hasil lebih ideal. Dengan kecepatan pemanenan 1,9 kilometer per jam dengan konsumsi bahan bakar 1,4 liter per jam, panen bisa dilakukan lebih singkat. Dari tiga hingga empat hari, dihemat menjadi dua atau tiga jam saja. Untuk sekali panen, biaya juga bisa lebih hemat. Hanya membutuhkan membeli solar sekitar Rp 60.000 untuk sekali panen.

Salah satu yang antusias adalah Hilman (60), satu dari ratusan petani di desa itu. Usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi tak menghalanginya untuk belajar metode pertanian anyar itu. “Asyik. Mengambil panen jadi tidak capek lagi.”

Sebelumnya panen tak pernah sederhana bagi Hilman. Untuk hasil panen senilai Rp 8,4 juta dari lahan seluas 2.800 meter persegi, ia harus mengeluarkan ongkos hingga Rp 2,2 juta untuk membayar tiga orang buruh. Ditambah biaya pengolahan lahan, ia hanya membawa pulang Rp 2 juta-Rp 3 juta untuk masa tanam hingga tiga bulan.

Waktunya pun tidak sebentar. Butuh 2-3 hari baginya untuk mendapatkan rata-rata 1,4 ton gabah. Ongkosnya masih terlampau tinggi. Waktu panen pun masih memakan waktu.

“Saya yakin, hasil panen juga bisa lebih efektif ketimbang sekadar memotong menggunakan tangan. Kalau ada teknologi menanam dan merawat lainnya, saya mau belajar,” ujar Hilman.–DWI BAYU RADIUS DAN B KRISNA YOGATAMA
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2017, di halaman 20 dengan judul “Manisnya Petani “Berteman” Teknologi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB