Kabar nyaris berakhirnya perjalanan salah satu perusahaan jamu di Indonesia sempat mengundang tanya. Apakah ini pertanda suramnya perkembangan jamu di Indonesia atau sekadar salah urus perusahaan?
Kenyataan menunjukkan, potensi jamu sebagai bagian dari pengobatan tradisional di Indonesia amatlah besar. Data Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, 59,12 persen penduduk Indonesia di atas usia 15 tahun minum jamu. Tahun 2013, ada 30,4 persen rumah tangga memilih layanan kesehatan tradisional ketika kesehatannya terganggu.
Data lain dari Badan Pusat Statistik menyebutkan, tahun 2014, jumlah penduduk sakit yang menggunakan obat tradisional 20,99 persen, sementara yang menggunakan obat modern 90,54 persen dan obat-obatan lain 4,06 persen. Artinya, sebagian penduduk Indonesia menggunakan obat tradisional seiring obat modern.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Obat tradisional didefinisikan sebagai obat ramuan yang dibuat dari bagian tanaman, hewan, mineral, dan lain-lain yang biasanya digunakan untuk menjaga kesehatan ataupun menyembuhkan penyakit secara turun-temurun. Sementara jamu yang berasal dari budaya Jawa merupakan obat tradisional yang dibuat dari ramuan tanaman obat, bisa bunga, buah, kulit pohon, dan akar. Karena itu, orang juga sering menyebutnya sebagai obat herbal. Menurut Tuschinsky dalam ”Balancing Hot and Cold-Balancing Power and Weakness: Social and Cultural Aspect of Malay Jamu in Singapore” (Social Science and Medicine, 1995), komposisi suatu ramuan bisa mencapai 40 elemen.
Di antara jamu itu ada virgin coconut oil yang populer sebagai VCO. Minyak kelapa murni ini tidak hanya dipercaya menyembuhkan berbagai masalah kesehatan, tetapi juga menghidupkan perekonomian di daerah terpencil yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.
Dalam studi berjudul Lalanga Pasifika, Weaving the Pacific: Stories of Empowerment from the South Pasific (editor Arlene Griffen, IPS Publications, 2006) diceritakan bagaimana VCO tak hanya memberdayakan para perempuan Samoa dan memandirikan secara ekonomi, tetapi juga mengubah martabat mereka. Para suami yang biasanya tak peduli kini meminta saran istrinya apabila hendak memutuskan sesuatu.
VCO mulai mencuat awal 1990-an, justru saat industri Barat mengampanyekan dampak buruk minyak kelapa dan kelapa sawit untuk menyelamatkan minyak jagung dan minyak kedelai mereka. Ini gara-gara penelitian yang mengungkap kesehatan masyarakat negara-negara kecil di kawasan Pasifik Selatan bahwa mereka berjantung sehat dan berumur panjang meski banyak mengonsumsi makanan dengan minyak kelapa.
Dalam jurnal Experimental and Therapeutic Medicine (Januari 2015), Swee Keong Yeap dan kawan-kawan dari Universitas Putra Malaysia menyimpulkan, asam lemak rantai sedang yang ditemukan dalam VCO berpotensi membantu mengurangi stres dan bersifat antioksidan. Pada uji coba dengan tikus, konsumsi VCO meningkatkan kadar antioksidan, menurunkan 5-hydroxytryptamine, dan menekan kadar adrenalin. Konsekuensinya adalah penurunan kolesterol, trigliserida, glukosa, dan kortikosteron yang memicu stres.
Hasil riset Maria Ludya Pulung dkk dari Jurusan Kimia dan Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Papua (Chem. Prog. Volume 9 Nomor 2, November 2016, dalam ejournal.unsrat.ac.id) juga menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi pada VCO dan kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri E coli ataupun S aureus.
Dengan demikian, VCO berpotensi untuk dikembangkan di pulau-pulau dan pesisir Indonesia yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pemerintah, akademi, dan pihak swasta bisa membantu masyarakat setempat mengembangkan VCO sebagai bagian dari pemberdayaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sesungguhnya jamu dan berbagai warisan nenek moyang kita berpeluang besar untuk menyejahterakan.–AGNES ARISTIARINI
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Jamu, VCO, Sehat”.