Sebanyak 132 ilmuwan tsunami dari 21 negara berkumpul di Bali untuk mendiskusikan temuan-temuan terbaru bencana geologi yang mematikan dan upaya memitigasinya. Momentum itu sekaligus untuk memperingati 25 tahun tsunami Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menewaskan sekitar 2.000 orang.
“Pertemuan para ahli tsunami dunia dilakukan empat tahunan dan kali ini yang ke-28. Terpilihnya Indonesia jadi tuan rumah pertemuan para ahli itu bermakna penting karena mendorong para ahli melihat kembali ancaman tsunami di Indonesia,” kata Ketua Simposium Tsunami Internasional (ITS) Abdul Muhari di Denpasar, Bali, Selasa (22/8).
Muhari yang juga ahli tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan, Indonesia dipilih jadi tuan rumah simposium karena tsunami Flores memasuki seperempat abad. Periode 25 tahun setelah tsunami Flores pada Desember 1992 dinilai kritis. “Saat ini mungkin sebagian saksi mata tsunami Flores meninggal. Bagaimana pengetahuan bencana itu ditransfer kepada generasi baru,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahli tsunami yang hadir antara lain Fumihiko Imamura dari Universitas Tohoku, Kenji Satake dari Universitas Tokyo, Yuichiro Tanioka dari Universitas Hokkaido, dan Emil Okal dari Universitas Northwestern. Dari Indonesia, ada para ahli dan peneliti tsunami, seperti Widjo Kongko dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Rahma Hanifa dari Institut Teknologi Bandung.
Para ahli tsunami akan diajak studi lapangan di Flores agar ada rekomendasi pengurangan risiko ke depan. Apalagi, daerah yang pernah dilanda tsunami di Flores kembali dipadati hunian.
Imamura memaparkan, tsunami Flores menunjukkan, jika tsunami melanda pulau kecil, hal itu berdampak lebih besar di sisi pesisir yang tak berhadapan langsung dengannya. “Dampak terbesar terjadi di sisi pulau sebaliknya. Di Pulau Babi (Flores), meski yang kena langsung ialah sisi utara pulau, gelombang tertinggi di selatan pulau,” ujarnya.
Emil Okal dalam kajiannya (2010) menilai, Indonesia belum banyak belajar dari tsunami sebelumnya. Tsunami Pangandaran pada 2006 yang menewaskan lebih dari 500 orang, misalnya, terjadi setelah 12 tahun tsunami Banyuwangi dan dua tahun setelah tsunami Aceh. (AIK)
——————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “Para Ahli Tsunami Dunia Bertemu di Bali”.