Sebatang pohon akasia jenis Acacia nilotica dipotong habis. Bagian batang pohon yang tersisa diolesi herbisida berbahan aktif triclopyr yang dicampur solar.Campuran herbisida dan solar itu diharapkan bekerja sistemik, meracuni jaringan tubuh/tumbuhan Acacia nilotica agar benar-benar mati, tidak tumbuh lagi.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno memperagakan hal tersebut di hadapan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, serta Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron yang hadir pada peringatan Hari Konservasi Alam Nasional 2017, Kamis (10/8), di Taman Nasional Baluran (TNB), Situbondo, Jawa Timur.
Cara itu diterapkan sejak 2014 untuk menghadang laju perkembangan spesies invasif asing Acacia nilotica yang telah menginvasi 5.593 hektar dari sekitar 10.000 hektar sabana di TNB. Saat ini tinggal 4.407 hektar yang belum terinvasi tanaman akasia itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penggunaan herbisida dan solar yang ditemukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati KLHK itu paling tidak menjadi solusi untuk mempertahankan sabana dari spesies invasif asing tersebut. Tanaman yang pada 1969 ditanam di TNB sebagai sekat bakar untuk mencegah kebakaran kini menjadi ancaman serius.
Jika dibiarkan, seluruh sabana di taman itu akan berubah menjadi belantara Acacia nilotica. Ekosistem di taman yang terkenal dengan julukan “Little Africa van Java” itu akan hancur. Habitat hewan dan tumbuhan di sana akan berakhir.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR-Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution (ketiga dari kiri), didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kiri), Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Herman Khaeron (kedua dari kiri), dan unsur pimpinan di Kementerian LHK, Kamis (10/8), menyaksikan gambar banteng di Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Acara itu dalam rangka peringatan Hari Konservasi Alam Nasional 2017.
Dampaknya sudah terasa. Populasi satwa yang hidupnya sangat bergantung pada rumput di sabana tersebut, seperti banteng jawa (Bos javanicus) dan kerbau liar (Bubalus bubalis), turun drastis. Banteng jawa yang pada 1996 berjumlah sekitar 200 ekor pada 2010 tinggal 26 ekor.
Rusak berat
Saat ini, dari total 5.593 hektar sabana yang telah diinvasi Acacia nilotica, seluas 1.534 hektar di antaranya rusak berat atau telah rapat ditumbuhi Acacia nilotica. Sementara 622 hektar dalam kategori rusak sedang dan 3.435 hektar dalam kategori rusak ringan.
Invasi Acacia nilotica sebenarnya sudah disadari sejak 1980-an, ketika rumput-rumput di sabana berkurang dan satwa di taman itu mulai terpengaruh karena pakannya terganggu. Awalnya pohon-pohon akasia hanya ditebang dan dibiarkan sehingga tumbuh lagi dan berkembang makin rindang. Biji-biji akasia yang tersimpan di tanah pun tumbuh.
Perkembangannya sangat pesat. Dalam setahun, akasia bisa menginvasi 100-200 hektar sabana, meningkat 10-15 persen per tahun. “Kami pernah meneliti, tahun 2000 ditebang, tahun 2001 dipelihara. Setelah itu tak dipelihara. Pada 2007, kami menghitung kepadatan pohon Acacia nilotica mencapai 2.232 batang per hektar,” ujar Kepala TNB Bambang Sukendro.
Berbagai upaya yang dimulai pada 2008, seperti menebang dan mencabut tanaman yang baru tumbuh, tak mampu menahan laju invasi akasia tersebut. Hingga akhirnya ditemukan metode mematikan akasia dengan herbisida dan solar.
“Supaya mati, pohonnya kami tebang pakai senso (chainsaw/mesin gergaji pemotong kayu). Sisanya kami olesi herbisida dan solar. Setelah diolesi, kami lihat beberapa hari, kalau itu tidak tumbuh tunas, berarti pohon mati. Kalau masih tumbuh, berarti belum total olesnya. Maka, harus oles lagi sampai pohonnya benar-benar mati,” tutur Bambang.
Di tengah keterbatasan anggaran, pihak TNB memilih strategi bertahan. Sejak 2010, sabana Bekol yang dikelilingi akasia dijadikan area prioritas untuk diselamatkan, dirawat secara intensif. Setiap tanaman Acacia nilotica yang tumbuh di sabana Bekol langsung dibabat, diolesi herbisida dan solar.
Hasilnya, sabana seluas 340 hektar bisa bertahan. Setidaknya pakan rumput untuk banteng tetap tersedia. Alhasil, pada 2014, jumlah banteng bertambah menjadi 33 ekor dan saat ini 45 ekor. TNB menargetkan pada 2019 setidaknya 1.660 hektar sabana bisa dirawat.
Namun, perang melawan spesies invasif tersebut tak kunjung berhenti. Saking cepatnya invasi tanaman tersebut, petugas TNB pun kadang harus berulang kali memerangi tanaman tersebut. Hujan merupakan salah satu kendala terberat.
Meski sejak 2014 metode pengolesan herbisida dan solar menjadi solusi menghadapi invasi akasia, tidak berarti persoalan selesai. Kayu-kayu akasia terus menumpuk di TNB karena aturan perundang-undangan melarang flora atau fauna keluar dari kawasan konservasi.
(SONYA HELLEN SINOMBOR)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Agustus 2017, di halaman 14 dengan judul “”Perang” Melawan Invasi di Sabana”.