Esther Gayatri Saleh (54) melangkah mantap menuju pesawat Nusantara 219 atau N219 di Bandara Internasional Husein Sastranegara, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (16/8). Skenario penerbangan pesawat turboprop N219 sudah terekam kuat di kepalanya.
Apa yang sudah dilatih tidak boleh meleset dan secara mental juga harus siap. Kalau saya sendiri saja ragu-ragu, akan sangat berbahaya untuk penerbangan,” ujar Esther.
Wajar apabila Esther begitu bersemangat. Pemilik 6.700 jam terbang ini akan menjadi bagian sejarah dunia dirgantara Indonesia. Dia adalah kepala pilot uji N219. Di dalam kokpit, dia ditemani kapten penerbang Adi Budi Atmoko serta flight test engineer Yustinus Wardana dan M Iqbal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan restu dan doa dari ayahnya, John Saroja Saleh (87), langkah Esther semakin tegap saat menuju pesawat di hanggar.
Sesuai rencana, pesawat bertuliskan “N219, Produk Anak Bangsa Hadir untuk Negeri” itu lepas landas di kecepatan 80 knot pada pukul 09.15. Ketinggian 8.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) pun tak sulit ditempuh.
Sebagai pilot penguji, risiko Esther dan timnya jelas membutuhkan nyali tinggi. Meski skenario di darat telah dimatangkan, potensi tak sesuai prediksi bisa saja terjadi di udara.
Daerah terpencil
Karier Esther bersama PT DI (dulu IPTN) dimulai 33 tahun lalu atau setahun setelah lulus dari Sawyer School of Aviation Phoenix, Amerika Serikat. Dia mengawali kariernya sebagai flight test engineer uji terbang pesawat CN235.
Selanjutnya, ia punya banyak pengalaman ikut menguji CN295 hingga CN212i 200/400. Dia juga dipercaya penuh oleh PT DI untuk mengantar sejumlah pesawat ke negara konsumen, seperti ke Uni Emirat Arab, Malaysia, Thailand, dan Pakistan.
Perlahan namanya mulai dikenal dunia penerbangan internasional. Lulusan International Test Pilot School di London City, Kanada, itu menjadi satu-satunya pilot Indonesia yang diterima “The Society of Experimental Test Pilots” pada November 2016.
Tak sembarangan pilot bisa diterima dalam komunitas berskala internasional itu. Komunitas ini beranggotakan pilot-pilot senior dengan jam terbang tinggi.
Dengan semua prestasi itu, Ketua Tim Teknik N219 PT DI Palmana Bhanadhi mengatakan tak pernah ragu dengan kemampuan Esther.
“Program N219 ini bukan perkara ringan. Sejak program ini digulirkan, saya berpikir harus ada ‘orang-orang gila’ di dalamnya untuk dapat menghasilkan karya terbaik bagi bangsa. Bu Esther adalah salah satunya,” kata Palmana.
Pesawat buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dan PT DI itu adalah pesawat terbaru di kelasnya. Pesawat berkapasitas 19 penumpang itu sejak 2006 didesain menjadi pesawat penghubung daerah terpencil dan pulau-pulau kecil. N219 bisa mendarat di landasan tanah, berumput, atau berkerikil sepanjang 600 meter.
Meski membanggakan, keberadaan N219 bukan tanpa nada sumbang. Sejumlah kalangan mengkritik biaya pembuatan purwarupa pesawat yang dianggap mahal. Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengemukakan, dari tahap riset hingga proses uji terbang, N219 menghabiskan dana sekitar Rp 800 miliar.
“Diperkirakan sampai proses perolehan sertifikat tipe (type certificate) dan sertifikat produksi akan menelan anggaran Rp 200 miliar lagi atau total sekitar Rp 1 triliun,” ujar Thomas.
Gairah baru
Akan tetapi, tak menghiraukan nada sumbang, proyek ini terus berjalan. Ada 350 peneliti yang terlibat mendandani pesawat 19 penumpang ini. Sebanyak 150 orang di antaranya peneliti muda berusia tak lebih dari 30 tahun.
N219 juga membawa gairah baru di dunia dirgantara. Laboratorium Aero Gasdinamika dan Getaran di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi kembali melakukan uji lorong angin. Keberadaan N219 juga menggairahkan lagi Pusat Teknologi Penerbangan di Lapan. Sertifikasi layak terbang atau tidak nanti akan dilakukan Kementerian Perhubungan.
Setelah sekitar 30 menit terbang di langit di atas Batujajar dan Waduk Saguling, Kabupaten Bandung Barat, Esther memutuskan turun kembali di Husein Sastranegara. Pendaratan mulus disambut teriakan dan tepuk tangan serta beragam pujian.
Akan tetapi, bagi Esther, puja-puji itu bukan tujuan utamanya. Dia merendah. Dia hanya ingin menjadi pelayan ketimbang pahlawan.
“Bagi generasi muda, kerjakan yang engkau bisa. Jangan sekadar mencari rupiah, melainkan carilah visi. Berikan yang terbaik buat negara ini maka engkau akan diberkati,” kata Esther.
ESTHER GAYATRI SALEH
Lahir:
Palembang, 3 September 1962
Pendidikan:
Sawyer School of Aviation Phoenix, Amerika Serikat, 1983
International Test Pilot School London City, Kanada, 2016
Pengalaman kerja:
PT Dirgantara Indonesia 1984-saat ini
PT Merpati Nusantara Airlines (Indonesia) tahun 1987-1995
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 16 dengan judul “Esther Gayatri SalehDiuji Langit Jadi Pilot Terbaik”.