Tulisan Prof Syamsul Rizal di harian Kompas edisi 28 Mei 2012, ”Kebebasan Akademik, Kebebasan yang Mencekik”, menarik dibahas lebih jauh. Sebab, dikhawatirkan mengambing-hitamkan kebebasan akademik sebagai pangkal dari beberapa simtom persoalan buruknya kehidupan kampus.
Prof Syamsul menggunakan tulisan Prof Sulistyowati Irianto yang berjudul ”Kebebasan Akademik Itu…” (Kompas, 5/5) sebagai landasan argumennya untuk sampai kepada simpulan: kebebasan akademik ternyata mencekik dan mungkin perlu ditinjau kembali. Di sini perlu ditegaskan, beberapa contoh penyimpangan (ekses) yang dipaparkan dalam tulisan Prof Syamsul bukan merupakan akibat dari kebebasan akademik.
Pada akhir 2000, pemerintah mengubah status empat perguruan tinggi negeri (PTN), yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Pertanian Bogor (IPB), menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Empat PTN ini semula berstatus sebagai unit pelayanan teknis Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemberian status badan hukum ini dimaksudkan agar perguruan tinggi jadi otonom karena hanya dengan demikian sebuah perguruan tinggi dapat melakukan tindakan hukum. Kebijakan ini dicatat sebagai tonggak penting dalam sejarah pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Berbagai pakar pendidikan tinggi mancanegara bahkan menyebutnya sebagai salah satu tonggak penting dalam reformasi pendidikan tinggi di Asia.
Konstruksi hukum dan sistem tata kelola sebuah BHMN dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 61/1999. Dalam PP tersebut dijelaskan mekanisme dan kerangka akuntabilitas, yang menuntut agar PTN berstatus BHMN bertata-kelola baik dan akuntabel terhadap pemangku kepentingan yang diwakilkan kepada Majelis Wali Amanat (MWA). Rektor pemimpin PTN BHMN bertanggung jawab kepada MWA, sebagai trustee body.
Mengapa terjadi ekses?
Kita harus pisahkan terlebih dahulu antara hakikat kebebasan akademik yang niscaya bagi ilmuwan dan praktik buruknya pengelolaan PTN BHMN yang berimplikasi justru merugikan kehidupan akademik perguruan tinggi. Saya melihat ada beberapa faktor yang menghambat kelancaran implementasi BHMN sesuai dengan tatanan yang semula dirancang dan diinginkan.
Faktor eksternal yang dianggap paling menghambat adalah lemahnya komitmen politis pemerintah untuk mendorong terwujudnya otonomi perguruan tinggi secara konsekuen. Pada saat BHMN dirancang, sudah diidentifikasi persoalan hukum yang menghadang, yaitu pengelolaan keuangan yang sangat kaku dan tidak efisien.
Peliknya sistem keuangan negara peninggalan kolonial yang kita kenal dengan ICW (Indische Comptabiliteitswet) diharapkan dapat diatasi dengan tatanan baru. Sayangnya, UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara tak mengakomodasi pola pengelolaan keuangan PTN berstatus BHMN seperti yang diharapkan, yaitu dalam bentuk blok. Pengaturan penggunaan dana APBN masih berparadigma line-item. Padahal, kebutuhan untuk mengelola perguruan tinggi secara efisien dan efektif butuh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, khususnya yang bersumber dari APBN.
Dengan ketiadaan dukungan kerangka hukum yang memadai, PTN berstatus BHMN didorong untuk melakukan penggalangan dana di luar dana yang bersumber dari APBN. Inilah yang mengakibatkan pimpinan perguruan tinggi mencari jalan mudah, menaikkan uang kuliah.
Dana APBN yang dialokasikan ke PTN berstatus BHMN sebagian besar (lebih 90 persen) berupa gaji untuk dosen dan karyawan yang berstatus PNS. Rencana untuk mengonversi pegawai yang berstatus PNS jadi pegawai BHMN menjadi sebuah disinsentif mengingat konversi ini akan berarti menurunnya alokasi dana rutin ke suatu PTN BHMN. Akibatnya, berbagai tatanan dan rencana manajemen sumber daya berbasis kinerja yang dirancang di PTN BHMN menjadi tak dapat dijalankan sama sekali.
Soal tata kelola
Sementara itu, di dalam PTN BHMN sendiri berlangsung transformasi organisasi dan penguatan tatanan manajemen dalam waktu bersamaan. Philip G Altbach, dalam bukunya berjudul From Dependence to Autonomy: The Development of Asian Universities, menengarai adanya potensi persoalan jika otonomi diberikan kepada institusi yang belum memiliki kemampuan untuk mengemban amanat otonomi yang bertanggung jawab. Adanya tata kelola yang baik merupakan prasyarat untuk terwujudnya otonomi secara akuntabel karena jika tidak, maka otonomi cenderung akan menimbulkan ekses yang sukar dikendalilan.
Meskipun mekanisme checks and balances sudah diupayakan terjadi di PTN BHMN, pada praktiknya keberadaan organ-organ seperti MWA dan Senat Akademik masih dalam taraf mencari bentuk dan format yang sesuai dengan budaya organisasi masing-masing.
Sementara itu, pola perekrutan kepemimpinan di perguruan tinggi di PTN BHMN masih memberi peluang untuk terpilihnya petualang politik menduduki pucuk pimpinan. Pola pemilihan oleh Senat Akademik ataupun MWA belum sepenuhnya mampu menjaring kepemimpinan yang kuat dan memiliki komitmen untuk mengemban amanat otonomi dan memikul tanggung jawab akuntabilitas secara bersamaan.
Jangan bakar lumbungnya
Sebagai resultan dari kedua faktor di atas, muncullah berbagai ekses. Sebutlah seperti terjadinya komersialisasi program pendidikan, proliferasi program studi dengan mengesampingkan mutu, politisasi kampus atas nama reformasi, hingga menerima mahasiswa daerah dengan bekerja sama pemerintah daerah dengan motif mencari dana.
Namun, pantaskah kita menyalahkan konsep kebebasan akademik sebagai penyebab ini semua? Jika ada tikus di lumbung padi, apakah kita akan membakar lumbungnya?
Kebebasan akademik adalah keniscayaan. Ia menjadi landasan moral bagi para ilmuwan untuk mencapai puncak prestasinya dan berperan aktif memajukan kesejahteraan umat manusia.
Chan Basaruddin Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Komputer UI
Sumber: Kompas, 5 Juni 2012