Sejak Pemilu Presiden 2014, masyarakat seolah terpecah. Jika semula pemicunya hanya perbedaan pandangan politik, kini penyebabnya meluas, mulai dari keyakinan agama, perbedaan etnis, kecemburuan ekonomi sosial, hingga pandangan soal Bumi bulat versus Bumi datar. Meski perbedaan sebenarnya hal yang wajar, repotnya perbedaan itu justru sering disertai kebencian.
Benci adalah rasa tidak suka terhadap suatu hal, benda, perilaku, identitas, gagasan, hingga individu atau kelompok tertentu yang sangat kuat. Rasa itu biasanya muncul disertai perasaan iri dan dengki.
“Akumulasi perasaan itu menimbulkan rasa getir, rendah diri, hingga perasaan tersaingi dan terkalahkan” kata Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Noor Rochman Hadjam, akhir Juni lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kumpulan perasaan itulah yang membuat seseorang yang membenci sesuatu bisa melakukan apa pun terhadap obyek yang dibencinya, mulai menghalangi mereka berkembang, menyebar kebohongan, mematikan karier, hingga melakukan kekerasan. Dalam sejarah peradaban manusia, kebencian itulah yang jadi pemicu pembunuhan, peperangan, hingga penghancuran kemanusiaan dan peradaban.
Namun, jika mengacu pada studi Jaak Panksepp (1943-2017) tentang tujuh emosi dasar, benci tidak termasuk satu di antaranya. Ketujuh emosi dasar itu adalah hasrat atau keinginan (seeking), marah (rage), takut (fear), gairah seksual (lust), pengasuhan (care), panik (grief), dan bermain (play).
Benci merupakan gabungan antara emosi pengasuhan dan gairah seksual. Kedua emosi itu juga merupakan bagian dari perasaan cinta yang sering dijadikan lawan dari rasa benci.
“Karena itu, sebagian ahli menyebut sebenarnya tidak ada rasa benci yang ada hanyalah kurang atau rendahnya rasa cinta,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado Taufiq Pasiak.
Cinta adalah sesuatu yang bersifat dinamis, kadang berlebih hingga menimbulkan euforia, tetapi juga bisa berada pada titik terendah hingga menimbulkan kebencian. Dalam kondisi sosial politik di Indonesia saat ini, rasa cinta itulah yang menghadapi tantangan luar biasa.
Meski demikian, memiliki rasa benci juga bukan sesuatu yang salah. Ahli psikoanalisis Sigmund Freud (1856-1939) pun menilai benci sebagai hal yang normal walau rasa itu tidak menyenangkan. Benci muncul sebagai upaya setiap individu untuk mempertahankan dan mengelola egonya menghadapi tekanan peradaban.
Karena itu, benci akan selalu ada dalam diri setiap manusia, tidak mungkin dinihilkan. Benci akan selalu ada sepanjang sejarah manusia karena sifat dasar sistem limbik di otak manusia adalah memburu kesenangan dan menghindari rasa nyeri. Keinginan untuk selalu mencari yang paling enak dan menjauhi hal-hal yang membuat tidak nyaman itulah yang akan membuat benci selalu ada.
Meski tidak ada yang salah dengan memiliki rasa benci, benci itu adalah racun. Kebencian juga diibaratkan sebagai bumerang karena bukan hanya berdampak terhadap sesuatu atau seseorang yang dibenci, melainkan juga kepada diri pembenci sendiri.
Kebencian membuat seseorang sulit berpikir jernih, suka menggeneralisasi, hingga tidak bisa berlaku adil. “Kebencian juga membuat jiwa tak tenang, supersensitif atau emosional dengan hal-hal lain yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan hal yang dibenci,” kata Noor Rochman.
Selain membuat jiwa tak tenang, kebencian juga membuat seseorang menjadi obsesif, memikirkan sesuatu yang dibencinya secara berulang-ulang sehingga menghabiskan waktu dan energinya tanpa mendapat manfaat apa pun.
Memicu penyakit
Bagi fisik, saat benci menguasai, rasa tidak nyaman dalam diri akan semakin kuat, bahkan membuat mereka yang membenci susah tidur. Kebencian akan meningkatkan adrenalin, detak jantung, hingga meningkatkan asam lambung. Jika kondisi itu berlangsung lama, kebencian akan memicu banyak berbagai penyakit fisik.
Taufiq, yang juga dosen di Fakultas Kedokteran Unsrat, menambahkan, kebencian yang terus-menerus akan mengganggu sistem imun atau kekebalan tubuh seseorang. Karena itu, rasa benci tidak boleh berlarut-larut karena akan memunculkan stres. “Benci itu racun karena membunuh diri sendiri secara patologis,” katanya.
Kebencian tak hanya memberi dampak pada kesehatan fisik dan psikis seseorang, tetapi juga memengaruhi keutuhan dan kerukunan masyarakat. Karena itulah, dalam skala yang lebih besar, kebencian bisa menghancurkan bangsa dan negara.
Meski demikian, proses evolusi manusia membuat kebencian pun memiliki manfaat positif yang membantu keberlanjutan manusia. Taufiq mengatakan, rasa benci membuat manusia menjadi hati-hati, waspada, dan penuh perhitungan. Benci juga diperlukan untuk membangun romantika dan mendinamiskan hidup manusia karena kehidupan tak akan berwarna jika hanya dipenuhi cinta.
Di sisi lain, benci juga bisa menjadi alat untuk introspeksi diri karena jangan-jangan kebencian itu muncul akibat kesalahan kita sendiri. “Yang penting, benci itu tidak boleh dimodulasi secara sadar, kecuali kebencian pada yang bukan manusia,” tambahnya. Karena itu, benci itu hanya diperbolehkan pada perbuatan atau perilaku seseorang, bukan pada orangnya.
Besarnya dampak negatif benci, baik pada diri, orang lain, lingkungan sekitar, maupun bangsa dan negara membuat benci harus dikelola secara bijak. “Membencilah secara wajar, jangan berlebihan karena setiap hal atau setiap orang selalu memiliki sisi positif dan negatif, tidak ada orang yang semuanya buruk, atau juga selalu baik. Jangan sampai kebencian itu mengendalikan hidup kita,” kata Taufiq.
Karena itu, datangnya Idul Fitri kali ini seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengikis rasa benci itu. Hanya dengan menyadari dan memahami kondisi diri dan orang yang kita benci, menerima dan memaafkan segala hal yang kita benci dari orang lain dengan penuh kerelaan, maka jiwa kita pun akan lebih tenang. “Itu hanya bisa dicapai jika kita bisa memaafkan secara tulus, tanpa syarat,” tambah Noor Rochman.
Idul Fitri bisa dijadikan momentum untuk memulai kembali hubungan bermasyarakat dan berbangsa yang baru yang didominasi dengan rasa cinta. Namun, lanjut Taufiq, hal itu hanya akan terjadi jika ada suri teladan untuk saling memaafkan dari para pemimpin bangsa maupun tokoh berbagai kelompok masyarakat, termasuk mereka yang ada di media sosial. “Jika bangsa ini mau maju, harus mau dan berani melepaskan hal-hal yang telah lalu,” katanya.(M ZAID WAHYUDI)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Saatnya Memupus Benci”.